Friday, December 4, 2015

Monolog Dialog (Sebuah Cerpen)


November hampir habis ketika hujan mengguyur kota itu. Itu adalah kota Bandung, yang pada salah satu cafénya ada mereka sedang berbicara seusai makan siang.

“Tidak, pergi ke sana kan jauh sekali.”
“Ah, masih lebih jauh Ekuador kan? Atau apa itu, oh.. Madagaskar.”
“Bisa saja kamu,” dia tertawa, setengah saja.

Saya selalu suka berbicara bersama dia. Tentang hal apa saja, akan tidak membosankan jika bersama dia.

“Lalu, siapa itu? Warman? Tarman? Parman? Temanmu yang dokter hewan itu.”
“Bokir, maksudmu? Iya, sekarang dia mengambil pendidikan dokter. Dokter orang kali ini.”
“Oh,” dia kembali mengaduk Dilmah beraroma earl gray untuk kemudian meminumnya perlahan sementara saya menenggak gelas bir kedua yang baru saja diantar pelayan yang tutur katanya sopan itu.

Aku bukan pengagum musik jazz konvensional. Coltrane? Parker? Nada macam apa yang mereka mainkan dalam birama 4/4, 9/8, lalu 5/8 itu? Dengan bunyi burung serak pada saxophone-nya itu mereka mungkin dapat menakut-nakuti tikus di rumahku yang selalu mengganggu ketika aku memasak apple pie.
Kali ini komposisi A Night in Tunisia yang menjadi latar pembicaraan mereka.

“Dizzy Gillespie, peniup trumpet favorit saya. Gurunya si Sandoval.” Saya sedikit mendeskripsikan.
“Ya. Tidak. Tidak tahu..?”
“Ah, kamu coba lah sesekali dengar jazz.”

Dia, ketika tersenyum, memang menarik. Saya tertarik. Pembicaraan yang baik, senyum yang menarik.

“Lalu aku bilang, aku ingin punya toko kue. Aku ingin berbisnis.”
“Hebat. Saya ingin jadi guru.”
“Kenapa?”
“Kenapa jadi guru maksudmu? Karena saya kagum. Bukan pada pendidikan, tapi pada ibu-ibu guru yang cantik. Setidaknya demikian ujar Gitanyali.”
“Hahaha, kamu aneh.”
“Wanita semenarik kamu ingin punya toko kue. Kamu bisa jadi aktris atau supermodel. Kamu yang aneh.”
“Mungkin. Tapi tetap saja kamu yang aneh. Musisi jazz mata keranjang yang mau jadi guru? Kamu ancaman kepada dunia pendidikan.”

Dia humoris. Aku suka pria humoris. Tapi dia bukan tipeku, setidaknya belum menjadi tipeku untuk saat ini.

“Apa maksud perkataanmu? Aku terlalu kaku? Kamu rupanya suka menilai orang.”
“Tidak, saya tidak suka menilai orang. Tapi kamu memang kaku secara kepribadian.”
“Semaumu saja lah, orang aneh.”
“Lihat siapa yang suka menilai orang sekarang.”

Mereka sama-sama diam kali ini. Sekira 27 menit tidak ada pembicaraan di antara mereka.

“Saya minta maaf,” saya agak menunduk ketika berkata demikian.
“Ya, begitu pun aku.”
“Ah, tidak. Saya yang salah.”
“Tapi aku yang tadi lancang.”
“Sudah lah. Tak apa bagi saya.”
“Aku pun sudah lupa mengapa kita sampai berselisih tadi.”
“Hehe.”

Mendungnya awan telah dibawa angin pergi berlabuh ke sisi bumi yang lain. Sisi bumi yang kering dan tandus sehingga penduduknya berada dalam masa kesulitan karena sawah-sawah yang belum kebagian rizki dari sang halikuljabbar. Sehingga dengan demikian mereka berdoa dengan tulus dan penuh pengharapan agar setidaknya satu jam saja – atau dua jam, kalau boleh – awan mendung datang mengunjungi mereka dan menghadiahi pancuran hujan. Doa yang tulus tanpa terikat waktu karena waktu memiliki ‘ruangnya’ sendiri yang tidak dipengaruhi – sebab ia mempengaruhi. Waktu mempengaruhi seseorang atau sesuatu dengan caranya yang biasa namun luar biasa: berlalu. Dengan berlalunya waktu, mereka menjadi merasa berkeharusan untuk meninggalkan café itu, menghentikan pembicaraan yang baik.

“Aku harus pulang.”
“Baik, saya pun demikian jika kamu merasa demikian.”
“Pembicaraan yang baik.”
“Ya, kamu menarik bagi saya.”
“Ya.”
“Ya.”
“…..”
“…..”
“…..”
“Katamu kamu harus pulang, bukan?”
“Iya. Janji bahwa kita akan berbicara bersama lagi nanti, ya?”
“Iya, saya janji.”
“….”
“Kok, diam?”
“Tidak.”
“Yuk, saya antar kamu pulang.”

Dia tersenyum dengan senyuman yang seperti tadi ketika saya tertarik dengannya.

“Yuk!”



Muhammad Al Ghifari
Desember 2015






Saturday, July 11, 2015

Pada Sebuah Apartemen (Sebuah Cerpen)


Seratus persen kesempurnaan, atau mati saja lah.

Aku terus berkata demikian.

Biar aku tepuk kedua tanganku ini dahulu agar aku tahu apakah ini mimpi atau nyata.

Aku bergetar, berkeringat, karena berada dalam tekanan.

Jika tepukan tanganku tak saling mengena satu sama lain, maka aku tahu ini tidak nyata.


Lalu aku terbangun. Di pojok sebuah kamar apartemen ini, aku terduduk. Rupanya aku tertidur ketika aku sedang mengerjakan lukisan pesanan tuan Brata. Sebuah lukisan potret penari Bali dengan latar bewarna merah carmine yang aku padukan dengan warna hitam untuk memberikan kesan kontras antara ekspresi sang penari yang penuh senyuman dangan nuansa suram. Dengan demikian lah aku dapat menyampaikan makna bahwa dibalik cerah ekspresi yang ditampilkan oleh sang penari melalui senyuman terdapat kegelisahan dan kekalutan yang kelam tersembunyi. Sang penari Bali ini belum sepenuhnya selesai aku lukis. Disamping senyuman yang timbul penuh makna bagi siapa yang melihatnya yang semalam telah aku selesaikan, aku masih bingung untuk menentukan bagian matanya. Aku tak tahu harus seperti apakah aku lukiskan sorotan mata penari ini. Apakah sorotan mata tajam khas seorang penghibur yang penuh dengan hasrat yang sangat cocok jika dipadukan dengan sorot sinar matahari yang menelusup masuk dari jendela pada pagi hari ini? Sorot mata yang layu manja seperti seseorang yang sedang berada dalam kenikmatan yang amat sangat kah? Atau haruskah kulukis penari ini dengan membuatnya memejamkan mata saja agar kesan seorang penari yang menghayati tariannya ini semakin kuat? Pak Brata tentu sudah mengingatkanku berkali-kali mengenai tenggat waktu penyelesaian lukisan ini yang sudah lewat agak jauh. Tapi aku tidak mengacuhkannya. Persetan, aku ini seniman. Apa yang diketahui oleh kolektor selain uang dan uang?
Kukenakan kacamata berlensa minus 5,75 milikku.

“Ah, sial! Sudah pukul 8.37!” kataku sembil menggerutu setelah mataku secara sengaja aku alihkan pandangannya ke arah jam Seiko yang aku gantung di dinding bagian atas sejak tiga tahun yang lalu yaitu pada tahun kedua aku menempati apartemen ini. Aku kemudian bergegas untuk memasukkan alat lukis yang berserakan di atas meja kecil berbentuk lingkaran yang terbuat dari kayu sonokeling di sebelah kanvas berlukiskan penari Bali yang sudah sekira 87% jadi itu ke dalam ranselku.
“Nanti malam pasti aku selesaikan,” kataku sambil menatap lukisanku itu sebelum aku menutup pintu apartemenku.

Aku berangkat ke taman dekat apartemenku untuk memenuhi janjiku kepada seorang klien yang seharusnya telah aku lakukan 37 menit yang lalu. Dia bermaksud untuk membeli sebuah lukisan yang aku lukis bulan lalu seharga dua ratus lima puluh juta rupiah. Terlalu murah pikirku. Lukisanku seharusnya bisa bernilai lebih dari itu, paling murah lima ratus juta rupiah. Tetapi aku setuju dengan penawaran ini mengingat sejak dua minggu yang lalu aku belum pernah menerima penawaran apa pun. Lagipula aku dapat dengan mudah mendapatkan ratusan juta rupiah lainnya kapan pun aku mau dengan lukisan-lukisanku.

Aku tiba di taman itu. Kemudian aku duduk di sebuah bangku yang sebelumnya telah kami tentukan sebagai tempat pertemuan dalam percakapan pesan singkat.
“Maaf, saya tidak sengaja datang terlambat.”
“Tidak masalah,”
Dia menjawab sambil kemudian menyerahkan sebuah amplop coklat tebal berukuran sedang kepadaku. Tentu saja amplop tersebut berisi uang. Tentu saja aku percaya bahwa jumlah uang di dalam amplop ini sesuai dengan kesepakatan kami. Tentu, memang ini caraku bertransaksi dalam menjual lukisan-lukisanku.
“Saya akan kirim lukisannya ke rumah anda pukul dua siang ini.”
Lalu ia menganggukkan kepalanya dan beranjak pergi. Aku pun pergi untuk menuju galeri lukisanku agar dapat mengatur proses pengiriman dan segala administrasinya.

Malam harinya, aku sedang menuangkan anggur ke dalam gelas ketika bel pintu apartemenku berbunyi.
“Oh, Devona rupanya. Masuk lah,”
Devona malam ini tampak anggun dengan gaun hitam dan sepatu hak tinggi merahnya. Dengan tatapan nakal dan senyumnya, ia masuk ke dalam apartemenku. Tanpa aku persilahkan, ia duduk di atas sofa kulit bewarna putih gading di ruang tamu apartemenku. Lalu ia meminum segelas anggur yang baru saja aku tuangkan sebelumnya tanpa aku persilahkan, lagi.
“Bagaimana transaksimu?”
“Lumayan,” aku menjawabnya sambil menyalakan geretan untuk membakar tembakau dalam Marlboro yang aku kulum.
“Baiklah, tuan jutawan.” Katanya sambil mengangkat gelas anggur itu hingga sejajar dengan wajah cendayamnya yang berhias tatapan mata yang teduh dan bibir yang bergincu mulberry itu.
“Lalu bagaimana dengan lukisan pesanan Pak Brata itu? Kamu tentu bermaksud untuk menyelesaikannya, bukan?” Ia bertanya sambil menunjuk ke arah lukisan penari Bali itu.
“Oh, itu. Entah lah, lukisan ini berbeda dari lukisanku yang lainnya. Aku sangat sulit untuk menentukan penyelesaiannya.”
“Mengapa demikian? Ini sudah lewat satu bulan dari tenggat waktumu. Kamu harus ingat itu,”
“Ikatan emosiku terhadap lukisan ini sangat kuat. Lukisan ini seperti aku. Maka dari itu aku ingin seratus persen kesempurnaan ada padanya juga.” Aku menerangkan.
“Bagaimana dengan Pak Brata yang sudah menunggu lukisan ini?”
“Persetan si Brata. Lebih baik aku mati saja daripada harus mengorbankan kesempurnaan lukisanku.”
“Dasar kamu, seniman. Aku benar-benar tidak mengerti cara pikirmu,” ia tertawa kecil.
“Sudahlah, kita rayakan saja malam ini.” Aku berkata sambil menuangkan anggur ke gelas.
Setelah menghabiskan tiga botol anggur dan beberapa batang rokok, kami bersenggama. Di sofa, di atas meja makan, di depan lukisan penari Bali yang belum aku selesaikan, dan di tempat tidur kamarku. Kami bersenggama hingga klimaks dan tertidur pulas.

Pagi hari, aku terbangun. Hanya aku sendiri yang ada di atas tempat tidurku. Devona sudah pergi, mungkin berangkat ke kantornya atau pulang ke apartemennya. Setelah bangun, aku langsung menuju ke kanvas lukisanku untuk menyelesaikan rupa sang penari Bali yang hampir jadi ini. Aku memerhatikan dengan seksama lukisanku ini. Sebuah mahakarya yang benar-benar mencerminkan makna dua perasaan yang saling berbanding terbalik dalam diri seorang manusia, hanya saja tanpa sepasang bola mata pada wajahnya.
“Bangsat, seharusnya kamu sudah kuselesaikan malam kemarin jika Devona tidak datang.”
Aku mulai mencampurkan cat dan minyak dan kemudian menuangkan beberapa warna ke dalam palet.
“Sorot mata seperti apakah yang harus aku lukiskan?”
Di saat yang bersamaan ketika aku bergumam, telepon genggamku mengeluarkan suara yang memberitahukan adanya panggilan masuk.
Tulisan “BRATA” terpampang dalam layar kaca telepon genggamku.
“Selamat pagi, pak.” Aku menyapanya supaya menunjukkan bahwa aku adalah seseorang yang mengerti etika dan tatakrama dalam menerima telepon.
“Bagaimana lukisan pesanan saya?” Tanpa menjawab sapaanku sebelumnya, Pak Brata langsung mencercaku dengan pertanyaan yang sama dengan panggilan-panggilan telepon pada hari-hari dan minggu-minggu sebelumnya.
“Oke, pak. Saya janji besok lukisan ini selesai. Bapak harus tahu betapa luar biasa sulitnya lukisan ini. Saya sudah ber-…”
“Tidak ada lagi besok! Saya batalkan pesanan ini. Biar saya suruh saja pelukis lain yang lebih berbakat dan lebih murah daripada kamu. Seniman payah!” Ia berkata demikian dan langsung menutup panggilan telepon ini.

Aku diam untuk mencerna apa yang baru saja terjadi dalam percakapan telepon tadi.
Seniman payah katanya? Brata brengsek! Beraninya dia berkata demikian.
Aku kemudian membuka botol Black Label di atas meja ruang tamuku. Aku meminumnya tanpa ragu-ragu hingga menyisakannya setengah botol. Aku berpikir sambil masih menggenggam botol di tangan kananku.
Lukisan ini memang luar biasa. Seniman sepertiku sampai dibuatnya kepayahan.
“Persetan,” aku membuang botol ke lantai. Aku lalu beranjak ke kanvas lukisan penari Bali itu. Aku mulai untuk melukisnya kembali.

Satu jam waktu berlalu.
Satu jam lainnya waktu berlalu.
Satu jam dari satu jam waktu lainnya juga telah berlalu.
Aku masih terpaku di depan kanvas lukisan dengan memegang palet yang catnya sudah mengering. Tidak ada kemajuan dari sejak pertama aku mulai melanjutkan lukisan yang belum kuselesaikan pagi tadi ini. Tanganku bergetar, aku tidak mampu menahan emosi yang didukung dengan derasnya adrenalin yang bergejolak di tubuhku. Aku mematahkan kuas dan membanting palet yang aku pegang. Seratus persen kesempurnaan hanya tinggal kata-kata. Benar, mungkin lebih baik aku mati saja jika tidak bisa kucapai seratus persen kesempurnaan itu.
“Kau saja yang mati! Aku seniman seratus persen sempurna!” Teriakku sambil menatap lukisanku itu.
Aku jatuh ke lantai dari tempat duduk melukisku. Lalu aku tanpa sadar menangis.
Rupanya aku menangis lama akibat kekalahan yang telah berpadu dengan jumlah alkohol yang tidak sedikit di dalam tubuhku ini, hingga aku dibuatnya tertidur di atas lantai apartemenku.

Di dalam tidurku, aku seperti terbangun oleh sentuhan lembut di punggungku. Dengan berbagai macam pengalaman kehidupanku, aku sangat meyakini bahwa sentuhan tersebut adalah sentuhan wanita. Aku membetulkan posisi tubuhku dengan mengulat hingga membuatnya terlentang sambil perlahan membuka mata. Seorang wanita yang sosoknya sangat kukenal rupanya. Aku mencari-cari kacamataku dengan meraba beberapa meter persegi bagian lantai apartemen di sekitar tempat aku tertidur tadi.
“Kacamataku? Dimana? Kamu…Devona?”
Pandangan mataku sangat buruk tanpa bantuan kacamata. Aku memandang ke arah jendela. Samar-samar aku menyadari bahwa hari sudah malam seketika tangan miliknya menarik tangan milikku untuk membantuku membangunkan tubuhku. Pandanganku masih kabur dan kepalaku pusing, efek alkohol rupanya masih kuat mempengaruhiku. Ia kini berdiri membelakangiku.
“Mengapa tidak kau selesaikan?” Ia bertanya padaku.
Dengan susahnya aku mencari-cari kacamataku di lantai.
“Dimana seratus persen kesempurnaanmu itu?” Belum sempat aku hiraukan pertanyaanya yang pertama, ia sudah bertanya kembali.
“Ah, ini dia!” Kataku sambil mengambil kacamataku yang terletak di empat setengah meter dari lantai tempat aku tertidur sebelumnya. Mungkin terjatuh dan terdorong ketika aku tak sengaja tertidur.

Kini aku bisa melihat dengan jelas ruang apartemenku dan jam Seiko yang jarum pendeknya tepat menunjuk di antara angka 12 dan 1. Lalu aku berbalik badan untuk melihat ke arah Devona. Aku dari belakang melihat Devona yang mengenakan pakaian tradisional yang entah mengapa sangat kukenal.
“Sejak jam berapa kamu ada di apartemenku, Devona? Dan…mengapa kamu mengenakan pakaian seperti itu?”
Aku memerhatikan sosoknya dari belakang dan dengan segera pula aku menyadari sesuatu. Devona yang ada di depanku bukan lah Devona. Aku bergidik, kemudian dengan perlahan aku mengalihkan pandanganku ke arah lukisan penari Bali di sebelah kiri badanku. Kanvas lukisan potret penari Bali yang kulukis itu kini hanya menampakkan latar berwarna merah carmine yang berpadu dengan hitam saja tanpa adanya penari Bali.
Kakiku seketika membeku lemas, aku tidak bisa bergerak.


Ini pasti mimpi, bukan kenyataan. Jelas aku masih tertidur sekarang.

Biar aku tepuk kedua tanganku ini dahulu agar aku tahu apakah ini mimpi atau nyata.

“SERATUS PERSEN KESEMPURNAAN?! KAU SAJA YANG MATI!” Wanita itu membalikkan wajahnya ke arahku sambil berteriak. Sebuah sosok wanita penari Bali dengan wajah tanpa bola mata yang sekarang berlari sambil bersiap menghunuskan keris ke tubuhku.

Aku sangat ketakutan hingga tidak bisa menggerakkan sekujur tubuhku.

Jika tepukan tanganku tak saling mengena satu sama lain, maka aku tahu ini tidak nyata.


PROK!


Muhammad Al Ghifari
Juli 2015


Sunday, May 24, 2015

Pada Sebuah Balkon (Sebuah Cerpen)

Di bawah seperempat sinar matahari pada sebuah pagi itu aku bersandar pada tiang mahogany yang agak lapuk untuk menopang balkon pada rooftop apartemen tempat aku tinggal. Shubuh baru usai. Menenggak secangkir kopi dan menghisap sebatang rokok bukan caraku menghayati pagi. Cukup memandang dan merasakan atmosfirnya saja, sudah cukup bagiku untuk menghayatinya. Begitu kiranya ritual pagi hariku. Setelah aku mengambil pandangan kepada sebagian sempit suasana kota tempat aku tinggal dari atas balkon ini, aku masuk kembali ke dalam ruangan apartemenku. Kuhidupkan lampu ruangan ini agar suasananya menjadi hangat. Lampu ruangan ini bercahaya kuning sehingga menimbulkan efek remang pada ruangan berkarpet beludru ini, yang serasi dengan langit di luar yang masih biru gelap. Entah lah, setidaknya demikian menurutku. Aku tersenyum, menghayati pagi ini.
                Aku menuju ke upright piano berlabel Steinway & Sons yang dahulu ketika pertama kali aku pindah ke apartemen ini secara sengaja aku posisikan di pojok ruangan dan menghadap ke arah pintu dan jendela kaca balkon. Aku suka sekali pada sebuah nomor jazz standard dengan nada dasar EbMaj7 yang ditulis Errol Garner: Misty. Ini juga salah satu ritualku pada pagi hari. Memainkan jazz. Aku buka papan penutup tuts piano ini lalu aku mainkan.
“…don't you notice how hopelessly I'm lost.
That's why I'm following you…”
                Kemudian pada bait terakhirnya.
On my own
would I wander through this wonderland alone
never knowing my right foot from my left
my hat from my glove
I'm too misty and too much in love…”
                Lalu dering telepon genggam berbunyi ketika belum sempat aku selesaikan part solo piano dalam lagu ini. Aku berhenti. Dering alarm reminder rupanya. Aku tidak bergegas untuk mengambil telepon genggam itu untuk kemudian aku lihat pesannya.
Tidak begitu penting.
Tidak penting.
Tidak begitu.
Tidak.
Aku bejalan untuk kembali duduk di depan piano.
Dia terbangun dari kamarnya. Membuka pintu dengan perlahan sambil kulihat kepalanya mengintip dari balik pintu. Kemudian dengan mukanya yang masih tampak lelah dia berjalan keluar dari kamarnya. Wajahnya manis berbentuk agak menyerupai lingkaran dengan dihiasi rambut panjang yang bergelombang di bagian ujungnya. Masih seperti waktu dahulu. Aku tersenyum melihatnya.
Dia melihat ke lampu ruangan yang telah aku nyalakan sebelumnya, lalu dia mematikannya. Kemudian dia berjalan ke pojok ruangan, ke piano yang aku mainkan sebelumnya, lalu dia tutup papan penutup tuts piano yang terbuka itu. Dia kemudian mengambil kacamatanya, juga telepon genggamnya, dan kemudian dia membaca pesan reminder di telepon genggamnya.
Tahun kelima. You wouldn't know how difficult to pass the time since that day.
Lalu dia keluar menuju balkon melalui pintu kaca yang telah terbuka. Dia bersandar pada tiang mahogany yang sudah lapuk itu kemudian dia pasang earphone untuk memainkan sebuah lagu pada telepon genggamnya. Misty, pada layar teleponnya terpampang judul lagu itu.
Dia kemudian memandang ke dalam ruangan apartemen melalui pintu kaca pemisah ruangan dengan balkon itu, dia memandang ke piano. Lalu dia melemparkan pandangannya ke langit pagi yang kini berwarna biru cerah itu.
Dia tersenyum. Namun ada airmata jatuh dari dua buah matanya.
Aku tersenyum melihatnya dari dalam ruangan, di tempat aku duduk di depan piano itu.
Tapi dia tidak melihatku tersenyum.
Tidak.
Tidak bisa.


Muhammad Al Ghifari
Mei 2015

Saturday, April 25, 2015

Pada Sebuah Bangku (Sebuah Cerpen)


Aku pada paruh akhir tahun ketiga pendidikan perguruan tinggi ini – di sebuah kota busuk yang kini aku dibuatnya menikmati karma akibat dulu aku sangat membencinya hingga aku tidak ingin tinggal di sini – entah belakangan ini atau mungkin sudah lama namun aku baru menyadarinya bahwa ruang kelas dan silabus perkuliahan dosen tidak hanya terbatas oleh itu saja. Ya, ada yang menarik. Ada sesuatu yang magis sehingga aku terbuai pada hal selain referensi bahan perkuliahan, sebut saja Mona Baker dengan In Other Words-nya atau Jeremy Munday dengan Introducing Translation Studies-nya. Hal tersebut tentu saja melampaui indera penglihatanku yang hanya terbatas untuk mentranskripsikan data visual saja. Juga indera pendengaran ini sehingga ramai dibuatnya menjadi hening. Ini lebih dari itu. Ini membuat aku merasa sekaligus berpikir tanpa melibatkan logika. Karena dia, aku tidak menggunakan logika yang selalu menjadi ketajaman berpikirku. Belum, aku juga belum tahu apa yang mencandui aku saat ini. Ah, perasaan ini.

“Aku harus kuliah pagi ini,” aku bergumam sembari menata rambut ini hingga terlihat klimis.
“Dia, ya dia. Mata kuliah ini salah satu kesempatanku untuk bertemu dia,” ditambah kemeja merah gelap berlengan panjang yang aku kancingkan hingga leher untuk menguatkan kesan parlente style.
“Aku akan duduk di satu pertiga deretan bangku paling belakang agar aku bisa melihatnya,” sambil aku membereskan segala perlengkapan yang aku akan bawa untuk kuliah, dan bersosial tentu saja. Kemudian aku mengikatkan tali Dexter Shoes berbahan kulit ini untuk selanjutnya aku menuruni anak tangga tempat kost ini supaya aku dapat berangkat ke kampus di jam yang sedang 9.13 ini.

“Bangku belakang masih kosong,” ujarku yang memperhatikan deretan bangku belakang yang sudah terisi setengah penuh itu untuk kemudian aku memasuki ruang kelas dan menduduki bangku yang sebelumnya sudah kurencanakan untuk kutempati itu.
Beberapa kawanku duduk pada deretan bangku yang sama denganku.
Beberapa kawannya duduk pada deretan yang terpisah dua deret ke depan dari deretanku.
Tetapi tidak ada dia pada deretan tersebut.

“Mungkin dia akan datang sebentar lagi,” aku bergumam.
9.24, dosen memasuki ruang kelas sehingga menyebabkan seluruh kelas menjadi hening dan terambil alih perhatiannya pada beliau.
Dia belum ada.
“Mungkin dia akan terlambat,” aku bergumam dengan sedikit berharap.
9.42, kelas sekarang sedang sibuk saling mendiskusikan materi perkuliahan yang bahkan bukan menjadi prioritasku di detik ini.
“Semoga dia datang”, aku berharap dengan tulus.

9.50.
10.13.
10.21.
10.39.
10.46.
10.53.
10.59.
11.00.
“Ah, perasaan ini..”


Muhammad Al Ghifari
April 2015


Wednesday, April 8, 2015

Pada Sebuah Kamar (Sebuah Cerpen)


Akhirnya sepi. Sepi, tidak begitu banyak yang berubah dari suasana ruang apartemen itu. Sebab waktu yang hanya berubah dan mengubah jalan kisah untuk siapa yang terikat. Alfa terduduk dengan tidak bermaksud untuk merenungkan jalan kisahnya, hanya saja memang waktu yang membuatnya terpaksa tidak berdaya di ruang apartemen itu, sepi.

            Senyum yang tidak seorang pun dapat menebak maknanya timbul ragu-ragu pada wajah Theta.
            “Aku yang harus pergi. Aku bersamanya,” Theta membuka suara, pada akhirnya.
            Sepi. Ada diam yang sesungguhnya menghujam rasa, tajam.
            “Jadi? Apakah memang harus begini?” Alfa melempar pertanyaan.
            Setelah air mata yang secara tidak sengaja, dengan tidak tertahan, mengalir dari sepasang mata berwarna coklat milik Alfa itu.
            “Maafkan aku, Alfa.” Theta berkata datar, seolah menyesal tetapi tidak. Tidak, tidak ada yang tahu.
            “Apa maksud dari semua ini?!” Alfa menyentak memecah sepi.

            Kemudian sepi. Apartemen itu adalah kediaman Alfa dan Theta, dengan sentuhan arsitektur scandinavian yang bisa terlihat pada dinding batu-bata berlapis cat putih polos dan perapian berbahan kayu ebony. Memang waktu yang telah mengantarkan mereka pada ulang tahun kelima pernikahan mereka. Seketika jatuh seikat bunga lavender yang pada sekelilingnya dibalut oleh rangkaian melati dari genggaman tangan Alfa yang baru saja tiba di ruangan apartemen itu. Theta di tengah ruangan apartemen itu berdiri, berciuman mesra sambil merangkul leher Gamma dengan begitu lembutnya. Sepi.
Awalnya sepi.



Muhammad Al Ghifari
April 2015

            

Tuesday, April 7, 2015

Pada Sebuah Gerbong (Sebuah Cerpen)


            Senja itu aku berpulang kembali ke kota di mana segala rutinitas aku jalani, kota Bandung, dari Jakarta yang sedang 30 derajat celcius lebih sehingga membuat aku melepaskan jas hitam yang aku kenakan untuk acara sebuah lamaran pernikahan salah seorang saudara yang telah aku hadiri. Dengan menggunakan kereta pukul empat sore, aku masih duduk menunggu di sana, kursi tunggu sebuah stasiun di pusat kota Jakarta yang sedang sibuk sebab orang-orang yang sepertinya dengan sengaja juga pergi berpulang pada waktu yang bersamaan denganku, mungkin. Mungkin ada yang satu tujuan denganku, mungkin ada juga yang tidak, mungkin.
            Setelah tiba kereta yang aku akan tumpangi, dengan tidak bersegera, aku memasuki gerbong yang di dalamnya terdapat kursi yang dua hari sebelumnya telah sengaja aku pesan agar aku dapat duduk di sana, di kursi 2A, di samping jendela. Sebuah kursi berbalut kulit sintetis berwarna beige yang sepertinya telah didesain sedemikian rupa untuk dapat menyesuaikan dengan nuansa minimalis pada desain interior gerbong eksekutif ini. Kuletakkan barang bawaanku di kompartemen yang tersedia tepat di langit-langit gerbong, di atas jendela. Kemudian aku duduk dengan berteman David Copperfield karya Charles Dickens serta alunan My Favorite Things hasil komposisi Oscar Hammerstein II yang mengalun mesra melalui earphone ponsel yang sengaja aku putar.
Aku pikir keadaan tidak akan bertambah mesra. Setidaknya hal itu yang sedang kupikirkan sebelum ia akhirnya datang memasuki gerbong ini. Ia adalah wanita seusiaku, dengan potongan rambut panjang menjuntai pada sepertiga punggungnya yang diperindah dengan gelombang pada bagian ujung rambutnya, dengan kacamata lensa besar yang berbingkai menyerupai bentuk persegi, serta dengan kemeja jeans berwarna pale turquoise yang dirangkap menggunakan sweater berwarna ivory white yang juga membuatnya tampak serasi dengan celana panjang chino berwarna coklat sienna serta sepatu kanvas berwarna putih yang ia kenakan itu. Ia meletakkan tas punggung Bonjour Adrien yang ia bawa di atas kompartemen barang. Kemudian, ia duduk di kursi 5A. Dan aku di kursi 2A, membaca David Copperfield pada halaman 27 seperempat paragraf terakhir. Dengan sedikit menengadah, aku melirik pada sosoknya dari belakang.

“Hai,” aku menyapa ia yang sedang duduk sambil mengetikkan jarinya pada layar sentuh ponsel milikknya.
Entahlah pada siapa ia sedang bertukar pesan pada pukul lima sore di saat kereta ini sedang melaju melewati kota Bekasi yang sedang hujan gerimis.
“Eh..? Hai, juga. Ada apa ya?” ia tampak bingung padaku yang tetiba menghampirinya.
“Aku boleh pindah duduk di sebelahmu, ya? Aku terganggu dengan orang yang duduk di sebelahku,” kataku sambil menunjuk tempat di mana aku duduk semula.
Ia melirik sebentar ke arah tempat dudukku, melihat penumpang di sebelah tempat dudukku yang tertidur dengan pulasnya dengan badan yang posisinya sudah miring ke arah tempat dudukku.
Kemudian ia berbalik menatapku dengan senyum yang sepertinya tidak sengaja ia buat akibat dari tawa yang ia tahan setelah melihat penumpang di sebelahku tadi.
“Boleh, kok. Silakan saja,” ia lalu mempersilakanku duduk di kursi 5B, tepat di sebelahnya yang kembali sibuk dengan layar ponselnya itu.
Aku melanjutkan kembali membaca David Copperfield yang telah mencapai halaman 27 pada seperempat paragraf terakhir sambil kupasang earphone-ku kembali untuk membiarkan Freddie Hubbard meniupkan solo trumpet pada lagu yang ia beri judul Red Clay.
“Charles Dickens, ya? Kamu suka baca sastra klasik?” ia bertanya sambil memperhatikan cover belakang buku yang sedang aku baca.
“Ah, engga juga kok. Aku lebih suka puisi ketimbang novel, sih. Buku ini kebetulan saja aku beli pada pameran buku di kampusku minggu lalu,” aku memberikannya penjelasan.
“Wah, penyair dong kamu ya?” ia lanjut bertanya.
“Bisa jadi,” aku menanggapi pertanyaannya sambil tersenyum.
“Kamu sendiri gimana? Apa interest kamu?” aku berbalik bertanya padanya yang kini sudah menyimpan ponselnya agar kami dapat saling bertatap mata dan berbagi cerita.
“Hmm, aku suka musik. Musik ballad, jazz, dan soul lebih tepatnya,” ia merespon pertanyaanku dengan antusias. Sepertinya ia tulus berkata dari hatinya, bukan hanya untuk sekadar meningkatkan harga dirinya di depanku, bukan. Ia tulus menjawabnya.
Ballad, jazz, dan soul, ya? Seperti Rumer? George Gershwin? Diana Krall?” aku kembali bertanya.
“Ya! Kamu juga suka mereka? Aku suka banget sama mereka soalnya. Mereka seperti guru aku untuk bermusik,” ia kembali dengan segala antusiasme yang ia miliki menjawab pertanyaanku tadi.
“Kurang lebih begitu,” jawabku kembali sambil tersenyum dan sesekali menganggukkan kepalaku agar ia mengerti bahwa aku pun sependapat dengannya.
“Eh iya, aku hampir lupa mengenalkan diriku. Namaku Muhammad,” aku mengenalkan diriku sambil menyodorkan tanganku padanya.
“Namaku….”

Ketika ia akan menyebutkan namanya sambil menyambut jabatan tanganku agar kami dapat saling menggenggam erat tangan kami, solo trumpet yang dimainkan oleh Hubbard dalam komposisi lagu Red Clay sedang mencapai klimaksnya. Ketukan drum saling beradu dengan alunan contra bass, electric piano, dan brass section yang mengiringi bagian solo ini. Membuatnya seakan-akan aku dalam kegelisahan tingkat tinggi sehingga mengakibatkan aku berada pada anomali dunia nyata dan alam bawah sadar ini. Aku seperti dalam sebuah perjalanan halusinasi yang tidak aku tahu ke mana ini akan membawaku dan kapan ini akan berhenti. Aku seperti terbawa progresi chord yang dimainkan secara berulang, namun dinamis. David Copperfield yang aku baca sudah mencapai halaman 27 pada seperempat paragraf terakhir. Aku duduk di kursi 2A, dan ia duduk di kursi 5A. Dengan sedikit menengadah, aku melirik pada sosoknya dari belakang.
Kemudian aku buka halaman 28.



Muhammad Al Ghifari
April 2015



Monday, March 30, 2015

Jalan yang Lain

Aku ini apatis, katanya
Yang meneriakkan perspektifnya di atas asap tembakau
Yang demi sebuah ToA ia mengunjukkan giginya, yang kuning
Yang tidak aku tahu bahwa ia pun tidak tahu

Ah, aku memang apatis, mungkin
Sebab opiniku tidak menerjang, menantang, menutup ruang
Sebab demokratisasi hanya akal tolol hasil berak berdarah
Sebab begitu pikir aku

Aku musuhmu, katanya
Yang berteriak salah atas kesalahan yang dipandang benar
Yang kuantitas mengalahkan kualitas, berat atas agitasi
Yang dirimu seperti ayam ternak hingga untuk akhirnya dipotong, mati

Ah, aku ini apa sih?
Sebab tidak sedikit jua dalih ini mengerti
Sebab aku akan tidak melirik peduli, atas omong kosong berbungkus angan
Sebab belum kenal aku padanya, Halikuljabbar

Yang aku mengerti, kemanusiaan ada di atas perspektifmu
Sebab perspektifmu mengagungkan babi demokrasi
Yang huru-hara engkau padankan atas perjuangan
Sebab aku engkau musuhi karena di sisi jalan lain


Muhammad Al Ghifari
Maret 2015

Untuk Perempuan yang Belum Sempat Aku Mengenalnya

Dia, yang untuknya kutiupkan segenggam renjana
Agar esok tidak lagi aku berelegi di awal hari
Tidak perlu kuromantisasi secangkir kopi di temaram malam,
Pun angkasa yang sedang berorkestra dengan indahnya

Bukan jemari itu yang bercinta dengan tuts hitam-putih
Sebilah rasa yang siap menerjang, tajam
Yang menggetarkan pilar art-deco pada sebuah bar
Sehingga tertusuk fuad ini sampai sentimentil

Untuk perempuan yang belum sempat aku mengenalnya,
Tidak seharusnya aku jatuh hati



Muhammad Al Ghifari
Maret 2015

Monday, March 16, 2015

Senang-Sendu Rindu

Biarkan aku bermeditasi, malam ini
Aku akan tidak pergi dari atas kursi
Sambil menghakimi semesta, dihujam sunyi
Pergi, oh pergi

Awan bukan tempat berlindungku
Atau di bawah beringin itu, bukan, sayangku
Di sana.. Ya, pengiring senandung senang-sendu
Pergi, oh pergi

Sebab kau tampak tidak hadir, di sini
Sebab kau tidak perlu tampak hadir, di sini
Sebab kau dihadirkan sepi, di sini
Pergi, oh pergi

Tik tok tik tok
Tik tok tik tok
Tik tok tik tok
Pergi, oh pergi

Sebab aku rindu, sayang
Bawalah atma ini
Ke sana, pengiring senandung senang-sendu
Pergi, oh pergi


Muhammad Al Ghifari
Maret 2015

Kuintet Sentimentil

Ini setengah dua malam
Di malam sebelum aku dua puluh satu
Bersahutan dengan dua belas bar blues
Aku ingin terlelap sebelum empat pagi

Tetapi Sang Sembilan puluh Sembilan menyimpan narasi sendiri
Tentang aku di ujung malam Maret tujuh belas
Kiranya aku butuh istirahat agar nol persen lelahku
Aku terhambat, ah delapan enam benakku

Ini aku pada tahun ketiga
Mendesak ilmu di kota busuk kilometer dua puluh satu
Untuk buktikan jika satu ditambah satu bisa jadi tiga atau lima
Dengan bermodal, dengan tingkatkan IPK tiga koma satu

Nanti aku jadi musisi jazz, mainkan harmoni minor tujuh flat lima
Dan/atau jadi guru SMA Negeri satu, dua, tiga, atau berapa lah
Bukan nominal gaji sepuluh seri lebih yang aku cari, bukan berapa pun
Ini tentang mimpi, di tiga per empat langkahku

Mereka tertawa seribu kali kepada mimpi ini
Sepuluh ribu kali kueratkan genggaman atas mimpi ini
Agar ketika sampai waktuku di dua kali satu meter, pada dua puluh tujuh
Tiga milyar dua puluh satu atma akan mengenangku


Muhammad Al Ghifari
Maret 2015