Friday, December 4, 2015

Monolog Dialog (Sebuah Cerpen)


November hampir habis ketika hujan mengguyur kota itu. Itu adalah kota Bandung, yang pada salah satu cafénya ada mereka sedang berbicara seusai makan siang.

“Tidak, pergi ke sana kan jauh sekali.”
“Ah, masih lebih jauh Ekuador kan? Atau apa itu, oh.. Madagaskar.”
“Bisa saja kamu,” dia tertawa, setengah saja.

Saya selalu suka berbicara bersama dia. Tentang hal apa saja, akan tidak membosankan jika bersama dia.

“Lalu, siapa itu? Warman? Tarman? Parman? Temanmu yang dokter hewan itu.”
“Bokir, maksudmu? Iya, sekarang dia mengambil pendidikan dokter. Dokter orang kali ini.”
“Oh,” dia kembali mengaduk Dilmah beraroma earl gray untuk kemudian meminumnya perlahan sementara saya menenggak gelas bir kedua yang baru saja diantar pelayan yang tutur katanya sopan itu.

Aku bukan pengagum musik jazz konvensional. Coltrane? Parker? Nada macam apa yang mereka mainkan dalam birama 4/4, 9/8, lalu 5/8 itu? Dengan bunyi burung serak pada saxophone-nya itu mereka mungkin dapat menakut-nakuti tikus di rumahku yang selalu mengganggu ketika aku memasak apple pie.
Kali ini komposisi A Night in Tunisia yang menjadi latar pembicaraan mereka.

“Dizzy Gillespie, peniup trumpet favorit saya. Gurunya si Sandoval.” Saya sedikit mendeskripsikan.
“Ya. Tidak. Tidak tahu..?”
“Ah, kamu coba lah sesekali dengar jazz.”

Dia, ketika tersenyum, memang menarik. Saya tertarik. Pembicaraan yang baik, senyum yang menarik.

“Lalu aku bilang, aku ingin punya toko kue. Aku ingin berbisnis.”
“Hebat. Saya ingin jadi guru.”
“Kenapa?”
“Kenapa jadi guru maksudmu? Karena saya kagum. Bukan pada pendidikan, tapi pada ibu-ibu guru yang cantik. Setidaknya demikian ujar Gitanyali.”
“Hahaha, kamu aneh.”
“Wanita semenarik kamu ingin punya toko kue. Kamu bisa jadi aktris atau supermodel. Kamu yang aneh.”
“Mungkin. Tapi tetap saja kamu yang aneh. Musisi jazz mata keranjang yang mau jadi guru? Kamu ancaman kepada dunia pendidikan.”

Dia humoris. Aku suka pria humoris. Tapi dia bukan tipeku, setidaknya belum menjadi tipeku untuk saat ini.

“Apa maksud perkataanmu? Aku terlalu kaku? Kamu rupanya suka menilai orang.”
“Tidak, saya tidak suka menilai orang. Tapi kamu memang kaku secara kepribadian.”
“Semaumu saja lah, orang aneh.”
“Lihat siapa yang suka menilai orang sekarang.”

Mereka sama-sama diam kali ini. Sekira 27 menit tidak ada pembicaraan di antara mereka.

“Saya minta maaf,” saya agak menunduk ketika berkata demikian.
“Ya, begitu pun aku.”
“Ah, tidak. Saya yang salah.”
“Tapi aku yang tadi lancang.”
“Sudah lah. Tak apa bagi saya.”
“Aku pun sudah lupa mengapa kita sampai berselisih tadi.”
“Hehe.”

Mendungnya awan telah dibawa angin pergi berlabuh ke sisi bumi yang lain. Sisi bumi yang kering dan tandus sehingga penduduknya berada dalam masa kesulitan karena sawah-sawah yang belum kebagian rizki dari sang halikuljabbar. Sehingga dengan demikian mereka berdoa dengan tulus dan penuh pengharapan agar setidaknya satu jam saja – atau dua jam, kalau boleh – awan mendung datang mengunjungi mereka dan menghadiahi pancuran hujan. Doa yang tulus tanpa terikat waktu karena waktu memiliki ‘ruangnya’ sendiri yang tidak dipengaruhi – sebab ia mempengaruhi. Waktu mempengaruhi seseorang atau sesuatu dengan caranya yang biasa namun luar biasa: berlalu. Dengan berlalunya waktu, mereka menjadi merasa berkeharusan untuk meninggalkan café itu, menghentikan pembicaraan yang baik.

“Aku harus pulang.”
“Baik, saya pun demikian jika kamu merasa demikian.”
“Pembicaraan yang baik.”
“Ya, kamu menarik bagi saya.”
“Ya.”
“Ya.”
“…..”
“…..”
“…..”
“Katamu kamu harus pulang, bukan?”
“Iya. Janji bahwa kita akan berbicara bersama lagi nanti, ya?”
“Iya, saya janji.”
“….”
“Kok, diam?”
“Tidak.”
“Yuk, saya antar kamu pulang.”

Dia tersenyum dengan senyuman yang seperti tadi ketika saya tertarik dengannya.

“Yuk!”



Muhammad Al Ghifari
Desember 2015