Sunday, May 24, 2015

Pada Sebuah Balkon (Sebuah Cerpen)

Di bawah seperempat sinar matahari pada sebuah pagi itu aku bersandar pada tiang mahogany yang agak lapuk untuk menopang balkon pada rooftop apartemen tempat aku tinggal. Shubuh baru usai. Menenggak secangkir kopi dan menghisap sebatang rokok bukan caraku menghayati pagi. Cukup memandang dan merasakan atmosfirnya saja, sudah cukup bagiku untuk menghayatinya. Begitu kiranya ritual pagi hariku. Setelah aku mengambil pandangan kepada sebagian sempit suasana kota tempat aku tinggal dari atas balkon ini, aku masuk kembali ke dalam ruangan apartemenku. Kuhidupkan lampu ruangan ini agar suasananya menjadi hangat. Lampu ruangan ini bercahaya kuning sehingga menimbulkan efek remang pada ruangan berkarpet beludru ini, yang serasi dengan langit di luar yang masih biru gelap. Entah lah, setidaknya demikian menurutku. Aku tersenyum, menghayati pagi ini.
                Aku menuju ke upright piano berlabel Steinway & Sons yang dahulu ketika pertama kali aku pindah ke apartemen ini secara sengaja aku posisikan di pojok ruangan dan menghadap ke arah pintu dan jendela kaca balkon. Aku suka sekali pada sebuah nomor jazz standard dengan nada dasar EbMaj7 yang ditulis Errol Garner: Misty. Ini juga salah satu ritualku pada pagi hari. Memainkan jazz. Aku buka papan penutup tuts piano ini lalu aku mainkan.
“…don't you notice how hopelessly I'm lost.
That's why I'm following you…”
                Kemudian pada bait terakhirnya.
On my own
would I wander through this wonderland alone
never knowing my right foot from my left
my hat from my glove
I'm too misty and too much in love…”
                Lalu dering telepon genggam berbunyi ketika belum sempat aku selesaikan part solo piano dalam lagu ini. Aku berhenti. Dering alarm reminder rupanya. Aku tidak bergegas untuk mengambil telepon genggam itu untuk kemudian aku lihat pesannya.
Tidak begitu penting.
Tidak penting.
Tidak begitu.
Tidak.
Aku bejalan untuk kembali duduk di depan piano.
Dia terbangun dari kamarnya. Membuka pintu dengan perlahan sambil kulihat kepalanya mengintip dari balik pintu. Kemudian dengan mukanya yang masih tampak lelah dia berjalan keluar dari kamarnya. Wajahnya manis berbentuk agak menyerupai lingkaran dengan dihiasi rambut panjang yang bergelombang di bagian ujungnya. Masih seperti waktu dahulu. Aku tersenyum melihatnya.
Dia melihat ke lampu ruangan yang telah aku nyalakan sebelumnya, lalu dia mematikannya. Kemudian dia berjalan ke pojok ruangan, ke piano yang aku mainkan sebelumnya, lalu dia tutup papan penutup tuts piano yang terbuka itu. Dia kemudian mengambil kacamatanya, juga telepon genggamnya, dan kemudian dia membaca pesan reminder di telepon genggamnya.
Tahun kelima. You wouldn't know how difficult to pass the time since that day.
Lalu dia keluar menuju balkon melalui pintu kaca yang telah terbuka. Dia bersandar pada tiang mahogany yang sudah lapuk itu kemudian dia pasang earphone untuk memainkan sebuah lagu pada telepon genggamnya. Misty, pada layar teleponnya terpampang judul lagu itu.
Dia kemudian memandang ke dalam ruangan apartemen melalui pintu kaca pemisah ruangan dengan balkon itu, dia memandang ke piano. Lalu dia melemparkan pandangannya ke langit pagi yang kini berwarna biru cerah itu.
Dia tersenyum. Namun ada airmata jatuh dari dua buah matanya.
Aku tersenyum melihatnya dari dalam ruangan, di tempat aku duduk di depan piano itu.
Tapi dia tidak melihatku tersenyum.
Tidak.
Tidak bisa.


Muhammad Al Ghifari
Mei 2015

No comments:

Post a Comment