Seratus persen
kesempurnaan, atau mati saja lah.
Aku terus berkata demikian.
Biar aku tepuk
kedua tanganku ini dahulu agar aku tahu apakah ini mimpi atau nyata.
Aku bergetar, berkeringat, karena berada dalam tekanan.
Jika tepukan
tanganku tak saling mengena satu sama lain, maka aku tahu ini tidak nyata.
Lalu aku terbangun. Di pojok
sebuah kamar apartemen ini, aku terduduk. Rupanya aku tertidur ketika aku
sedang mengerjakan lukisan pesanan tuan Brata. Sebuah lukisan potret penari Bali
dengan latar bewarna merah carmine
yang aku padukan dengan warna hitam untuk memberikan kesan kontras antara
ekspresi sang penari yang penuh senyuman dangan nuansa suram. Dengan demikian
lah aku dapat menyampaikan makna bahwa dibalik cerah ekspresi yang ditampilkan
oleh sang penari melalui senyuman terdapat kegelisahan dan kekalutan yang kelam
tersembunyi. Sang penari Bali ini belum sepenuhnya selesai aku lukis. Disamping
senyuman yang timbul penuh makna bagi siapa yang melihatnya yang semalam telah
aku selesaikan, aku masih bingung untuk menentukan bagian matanya. Aku tak tahu
harus seperti apakah aku lukiskan sorotan mata penari ini. Apakah sorotan mata
tajam khas seorang penghibur yang penuh dengan hasrat yang sangat cocok jika
dipadukan dengan sorot sinar matahari yang menelusup masuk dari jendela pada
pagi hari ini? Sorot mata yang layu manja seperti seseorang yang sedang berada
dalam kenikmatan yang amat sangat kah? Atau haruskah kulukis penari ini dengan
membuatnya memejamkan mata saja agar kesan seorang penari yang menghayati
tariannya ini semakin kuat? Pak Brata tentu sudah mengingatkanku berkali-kali
mengenai tenggat waktu penyelesaian lukisan ini yang sudah lewat agak jauh.
Tapi aku tidak mengacuhkannya. Persetan,
aku ini seniman. Apa yang diketahui oleh kolektor selain uang dan uang?
Kukenakan kacamata berlensa
minus 5,75 milikku.
“Ah, sial! Sudah pukul 8.37!”
kataku sembil menggerutu setelah mataku secara sengaja aku alihkan pandangannya
ke arah jam Seiko yang aku gantung di dinding bagian atas sejak tiga tahun yang
lalu yaitu pada tahun kedua aku menempati apartemen ini. Aku kemudian bergegas
untuk memasukkan alat lukis yang berserakan di atas meja kecil berbentuk
lingkaran yang terbuat dari kayu sonokeling di sebelah kanvas berlukiskan
penari Bali yang sudah sekira 87% jadi itu ke dalam ranselku.
“Nanti malam pasti aku
selesaikan,” kataku sambil menatap lukisanku itu sebelum aku menutup pintu
apartemenku.
Aku berangkat ke taman dekat
apartemenku untuk memenuhi janjiku kepada seorang klien yang seharusnya telah
aku lakukan 37 menit yang lalu. Dia bermaksud untuk membeli sebuah lukisan yang
aku lukis bulan lalu seharga dua ratus lima puluh juta rupiah. Terlalu murah
pikirku. Lukisanku seharusnya bisa bernilai lebih dari itu, paling murah lima
ratus juta rupiah. Tetapi aku setuju dengan penawaran ini mengingat sejak dua
minggu yang lalu aku belum pernah menerima penawaran apa pun. Lagipula aku
dapat dengan mudah mendapatkan ratusan juta rupiah lainnya kapan pun aku mau
dengan lukisan-lukisanku.
Aku tiba di taman itu.
Kemudian aku duduk di sebuah bangku yang sebelumnya telah kami tentukan sebagai
tempat pertemuan dalam percakapan pesan singkat.
“Maaf, saya tidak sengaja
datang terlambat.”
“Tidak masalah,”
Dia menjawab sambil kemudian
menyerahkan sebuah amplop coklat tebal berukuran sedang kepadaku. Tentu saja
amplop tersebut berisi uang. Tentu saja aku percaya bahwa jumlah uang di dalam
amplop ini sesuai dengan kesepakatan kami. Tentu, memang ini caraku
bertransaksi dalam menjual lukisan-lukisanku.
“Saya akan kirim lukisannya ke
rumah anda pukul dua siang ini.”
Lalu ia menganggukkan
kepalanya dan beranjak pergi. Aku pun pergi untuk menuju galeri lukisanku agar
dapat mengatur proses pengiriman dan segala administrasinya.
Malam harinya, aku sedang menuangkan
anggur ke dalam gelas ketika bel pintu apartemenku berbunyi.
“Oh, Devona rupanya. Masuk
lah,”
Devona malam ini tampak anggun
dengan gaun hitam dan sepatu hak tinggi merahnya. Dengan tatapan nakal dan
senyumnya, ia masuk ke dalam apartemenku. Tanpa aku persilahkan, ia duduk di
atas sofa kulit bewarna putih gading di ruang tamu apartemenku. Lalu ia meminum
segelas anggur yang baru saja aku tuangkan sebelumnya tanpa aku persilahkan,
lagi.
“Bagaimana transaksimu?”
“Lumayan,” aku menjawabnya
sambil menyalakan geretan untuk membakar tembakau dalam Marlboro yang aku
kulum.
“Baiklah, tuan jutawan.” Katanya
sambil mengangkat gelas anggur itu hingga sejajar dengan wajah cendayamnya yang
berhias tatapan mata yang teduh dan bibir yang bergincu mulberry itu.
“Lalu bagaimana dengan lukisan
pesanan Pak Brata itu? Kamu tentu bermaksud untuk menyelesaikannya, bukan?” Ia
bertanya sambil menunjuk ke arah lukisan penari Bali itu.
“Oh, itu. Entah lah, lukisan
ini berbeda dari lukisanku yang lainnya. Aku sangat sulit untuk menentukan
penyelesaiannya.”
“Mengapa demikian? Ini sudah
lewat satu bulan dari tenggat waktumu. Kamu harus ingat itu,”
“Ikatan emosiku terhadap
lukisan ini sangat kuat. Lukisan ini seperti aku. Maka dari itu aku ingin
seratus persen kesempurnaan ada padanya juga.” Aku menerangkan.
“Bagaimana dengan Pak Brata
yang sudah menunggu lukisan ini?”
“Persetan si Brata. Lebih baik
aku mati saja daripada harus mengorbankan kesempurnaan lukisanku.”
“Dasar kamu, seniman. Aku
benar-benar tidak mengerti cara pikirmu,” ia tertawa kecil.
“Sudahlah, kita rayakan saja malam
ini.” Aku berkata sambil menuangkan anggur ke gelas.
Setelah menghabiskan tiga botol
anggur dan beberapa batang rokok, kami bersenggama. Di sofa, di atas meja
makan, di depan lukisan penari Bali yang belum aku selesaikan, dan di tempat tidur
kamarku. Kami bersenggama hingga klimaks dan tertidur pulas.
Pagi hari, aku terbangun.
Hanya aku sendiri yang ada di atas tempat tidurku. Devona sudah pergi, mungkin
berangkat ke kantornya atau pulang ke apartemennya. Setelah bangun, aku
langsung menuju ke kanvas lukisanku untuk menyelesaikan rupa sang penari Bali
yang hampir jadi ini. Aku memerhatikan dengan seksama lukisanku ini. Sebuah
mahakarya yang benar-benar mencerminkan makna dua perasaan yang saling
berbanding terbalik dalam diri seorang manusia, hanya saja tanpa sepasang bola
mata pada wajahnya.
“Bangsat, seharusnya kamu
sudah kuselesaikan malam kemarin jika Devona tidak datang.”
Aku mulai mencampurkan cat dan
minyak dan kemudian menuangkan beberapa warna ke dalam palet.
“Sorot mata seperti apakah
yang harus aku lukiskan?”
Di saat yang bersamaan ketika
aku bergumam, telepon genggamku mengeluarkan suara yang memberitahukan adanya
panggilan masuk.
Tulisan “BRATA” terpampang
dalam layar kaca telepon genggamku.
“Selamat pagi, pak.” Aku
menyapanya supaya menunjukkan bahwa aku adalah seseorang yang mengerti etika
dan tatakrama dalam menerima telepon.
“Bagaimana lukisan pesanan
saya?” Tanpa menjawab sapaanku sebelumnya, Pak Brata langsung mencercaku dengan
pertanyaan yang sama dengan panggilan-panggilan telepon pada hari-hari dan
minggu-minggu sebelumnya.
“Oke, pak. Saya janji besok
lukisan ini selesai. Bapak harus tahu betapa luar biasa sulitnya lukisan ini.
Saya sudah ber-…”
“Tidak ada lagi besok! Saya
batalkan pesanan ini. Biar saya suruh saja pelukis lain yang lebih berbakat dan
lebih murah daripada kamu. Seniman payah!” Ia berkata demikian dan langsung
menutup panggilan telepon ini.
Aku diam untuk mencerna apa
yang baru saja terjadi dalam percakapan telepon tadi.
Seniman payah katanya? Brata brengsek! Beraninya dia berkata demikian.
Aku kemudian membuka botol Black
Label di atas meja ruang tamuku. Aku meminumnya tanpa ragu-ragu hingga
menyisakannya setengah botol. Aku berpikir sambil masih menggenggam botol di
tangan kananku.
Lukisan ini memang luar biasa. Seniman sepertiku sampai dibuatnya
kepayahan.
“Persetan,” aku membuang botol
ke lantai. Aku lalu beranjak ke kanvas lukisan penari Bali itu. Aku mulai untuk
melukisnya kembali.
Satu jam waktu berlalu.
Satu jam lainnya waktu
berlalu.
Satu jam dari satu jam waktu
lainnya juga telah berlalu.
Aku masih terpaku di depan
kanvas lukisan dengan memegang palet yang catnya sudah mengering. Tidak ada
kemajuan dari sejak pertama aku mulai melanjutkan lukisan yang belum kuselesaikan
pagi tadi ini. Tanganku bergetar, aku tidak mampu menahan emosi yang didukung
dengan derasnya adrenalin yang bergejolak di tubuhku. Aku mematahkan kuas dan
membanting palet yang aku pegang. Seratus persen kesempurnaan hanya tinggal
kata-kata. Benar, mungkin lebih baik aku mati saja jika tidak bisa kucapai
seratus persen kesempurnaan itu.
“Kau saja yang mati! Aku seniman
seratus persen sempurna!” Teriakku sambil menatap lukisanku itu.
Aku jatuh ke lantai dari
tempat duduk melukisku. Lalu aku tanpa sadar menangis.
Rupanya aku menangis lama
akibat kekalahan yang telah berpadu dengan jumlah alkohol yang tidak sedikit di
dalam tubuhku ini, hingga aku dibuatnya tertidur di atas lantai apartemenku.
Di dalam tidurku, aku seperti
terbangun oleh sentuhan lembut di punggungku. Dengan berbagai macam pengalaman kehidupanku,
aku sangat meyakini bahwa sentuhan tersebut adalah sentuhan wanita. Aku membetulkan
posisi tubuhku dengan mengulat hingga membuatnya terlentang sambil perlahan
membuka mata. Seorang wanita yang sosoknya sangat kukenal rupanya. Aku mencari-cari
kacamataku dengan meraba beberapa meter persegi bagian lantai apartemen di sekitar
tempat aku tertidur tadi.
“Kacamataku? Dimana? Kamu…Devona?”
Pandangan mataku sangat buruk
tanpa bantuan kacamata. Aku memandang ke arah jendela. Samar-samar aku
menyadari bahwa hari sudah malam seketika tangan miliknya menarik tangan milikku
untuk membantuku membangunkan tubuhku. Pandanganku masih kabur dan kepalaku
pusing, efek alkohol rupanya masih kuat mempengaruhiku. Ia kini berdiri
membelakangiku.
“Mengapa tidak kau selesaikan?”
Ia bertanya padaku.
Dengan susahnya aku
mencari-cari kacamataku di lantai.
“Dimana seratus persen
kesempurnaanmu itu?” Belum sempat aku hiraukan pertanyaanya yang pertama, ia
sudah bertanya kembali.
“Ah, ini dia!” Kataku sambil
mengambil kacamataku yang terletak di empat setengah meter dari lantai tempat
aku tertidur sebelumnya. Mungkin terjatuh dan terdorong ketika aku tak sengaja
tertidur.
Kini aku bisa melihat dengan
jelas ruang apartemenku dan jam Seiko yang jarum pendeknya tepat menunjuk di
antara angka 12 dan 1. Lalu aku berbalik badan untuk melihat ke arah Devona. Aku
dari belakang melihat Devona yang mengenakan pakaian tradisional yang entah
mengapa sangat kukenal.
“Sejak jam berapa kamu ada di
apartemenku, Devona? Dan…mengapa kamu mengenakan pakaian seperti itu?”
Aku memerhatikan sosoknya dari
belakang dan dengan segera pula aku menyadari sesuatu. Devona yang ada di
depanku bukan lah Devona. Aku bergidik, kemudian dengan perlahan aku
mengalihkan pandanganku ke arah lukisan penari Bali di sebelah kiri badanku.
Kanvas lukisan potret penari Bali yang kulukis itu kini hanya menampakkan latar
berwarna merah carmine yang berpadu
dengan hitam saja tanpa adanya penari Bali.
Kakiku seketika membeku lemas,
aku tidak bisa bergerak.
Ini pasti mimpi, bukan kenyataan. Jelas aku masih tertidur sekarang.
Biar aku tepuk
kedua tanganku ini dahulu agar aku tahu apakah ini mimpi atau nyata.
“SERATUS PERSEN KESEMPURNAAN?!
KAU SAJA YANG MATI!” Wanita itu membalikkan wajahnya ke arahku sambil
berteriak. Sebuah sosok wanita penari Bali dengan wajah tanpa bola mata yang
sekarang berlari sambil bersiap menghunuskan keris ke tubuhku.
Aku sangat ketakutan hingga
tidak bisa menggerakkan sekujur tubuhku.
Jika tepukan
tanganku tak saling mengena satu sama lain, maka aku tahu ini tidak nyata.
PROK!
Muhammad Al Ghifari
Juli 2015