Aku pada paruh akhir tahun
ketiga pendidikan perguruan tinggi ini – di sebuah kota busuk yang kini aku
dibuatnya menikmati karma akibat dulu aku sangat membencinya hingga aku tidak
ingin tinggal di sini – entah belakangan ini atau mungkin sudah lama namun aku
baru menyadarinya bahwa ruang kelas dan silabus perkuliahan dosen tidak hanya
terbatas oleh itu saja. Ya, ada yang menarik. Ada sesuatu yang magis sehingga
aku terbuai pada hal selain referensi bahan perkuliahan, sebut saja Mona Baker
dengan In Other Words-nya atau Jeremy
Munday dengan Introducing Translation
Studies-nya. Hal tersebut tentu saja melampaui indera penglihatanku yang
hanya terbatas untuk mentranskripsikan data visual saja. Juga indera pendengaran ini sehingga ramai dibuatnya menjadi hening. Ini lebih dari itu.
Ini membuat aku merasa sekaligus berpikir tanpa melibatkan logika. Karena dia,
aku tidak menggunakan logika yang selalu menjadi ketajaman berpikirku. Belum,
aku juga belum tahu apa yang mencandui aku saat ini. Ah, perasaan ini.
“Aku harus kuliah pagi ini,”
aku bergumam sembari menata rambut ini hingga terlihat klimis.
“Dia, ya dia. Mata kuliah ini
salah satu kesempatanku untuk bertemu dia,” ditambah kemeja merah gelap
berlengan panjang yang aku kancingkan hingga leher untuk menguatkan kesan parlente style.
“Aku akan duduk di satu
pertiga deretan bangku paling belakang agar aku bisa melihatnya,” sambil aku
membereskan segala perlengkapan yang aku akan bawa untuk kuliah, dan bersosial
tentu saja. Kemudian aku mengikatkan tali Dexter
Shoes berbahan kulit ini untuk selanjutnya aku menuruni anak tangga tempat
kost ini supaya aku dapat berangkat ke kampus di jam yang sedang 9.13 ini.
“Bangku belakang masih kosong,”
ujarku yang memperhatikan deretan bangku belakang yang sudah terisi setengah
penuh itu untuk kemudian aku memasuki ruang kelas dan menduduki bangku yang
sebelumnya sudah kurencanakan untuk kutempati itu.
Beberapa kawanku duduk pada
deretan bangku yang sama denganku.
Beberapa kawannya duduk pada
deretan yang terpisah dua deret ke depan dari deretanku.
Tetapi tidak ada dia pada
deretan tersebut.
“Mungkin dia akan datang
sebentar lagi,” aku bergumam.
9.24, dosen memasuki ruang kelas
sehingga menyebabkan seluruh kelas menjadi hening dan terambil alih
perhatiannya pada beliau.
Dia belum ada.
“Mungkin dia akan terlambat,”
aku bergumam dengan sedikit berharap.
9.42, kelas sekarang sedang
sibuk saling mendiskusikan materi perkuliahan yang bahkan bukan
menjadi prioritasku di detik ini.
“Semoga dia datang”,
aku berharap dengan tulus.
9.50.
10.13.
10.21.
10.39.
10.46.
10.53.
10.59.
11.00.
“Ah, perasaan ini..”
Muhammad Al Ghifari
April 2015
No comments:
Post a Comment