Tuesday, May 17, 2016

Pada Sebuah Boulevard (Sebuah Cerpen)

Aku melemparkan sekeping uang logam ke dalam instalasi seni berupa bejana air berbentuk seperti tempayan dengan ukiran bunga yang menjalar yang dengan bantuan motor listrik ia dapat menyemburkan air ke arah langit agar percikannya turun kembali memenuhi bejana tersebut secara teratur dan memiliki nilai estetika bagi siapa yang memandangnya. Itu adalah kepingan uang logam yang sebelumnya bertempat di dalam kantong kemeja flannel berwarna navy blue yang aku kenakan pada hari yang sedang mendung ini. Di tengah boulevard yang tidak terlalu banyak orang yang berjalannya itu aku berdiri, memandang langit sejenak, menghembuskan satu tarikan nafas, kemudian aku duduk di kursi kayu pada garis antara jalan dan rerumputan taman.

“Hai, dunia. Kau terlalu sibuk,” aku berujar dalam diam.
“Tidak bisakah kau beristirahat sejenak agar kita berada dalam posisi yang sejajar?”
“Apa? Bukan seperti itu kah, dunia?”
“Ah, benar.”
“Aku yang mungkin sudah payah dan terlanjur lelah,” sambil tersenyum aku masih berujar dalam diam.

Hari itu adalah hari yang tidak buruk menurutku. Mendung yang terhampar di antara angkasa sore itu tidak kupandang sebagai pertanda hal yang kelam, melainkan suatu teduh yang meskipun saling berfriksi dengan kelit definisi yang aku sampaikan mengenainya, tetapi ia harmoni. Setidaknya harmoni denganku. Mungkin orang-orang yang tampak dalam batas lensa mataku yang sudah lama minus 5,75 di depanku ini, yang sejajar posisinya dengan berjalannya dunia, yang masih tangguh dan tidak pula lelah, memiliki persepsi yang berbeda terhadap langit mendung sore hari ini yang tadi kudefinisikan.

“Dunia, kau memberiku banyak warna. Dengan masing-masing makna,” aku melanjutkan.
“Oh, tentu saja aku tahu!”
“Agar menjadi indah menurutmu, kan?”
“Ah..”
“Jika pemberianmu adalah pilihan, tentu tidak kupilih itu warna yang kegelap-gelapan.”
“Tapi kini semuanya sudah saling berdistraksi menjadi kegelap-gelapan, karena tidak bisa aku memilih.”

Aku ingin melemparkan koin kedua, tetapi kantong flannel ini sudah tidak berisi.

“Lalu apa ini maksud dari konsep menunggu?” kembali aku berujar, masih dalam diam.
“Hahaha..” aku tertawa, yang menurut Putu Wijaya tergolong ke dalam tertawa karena terlalu jengkel dan putus asa dalam klasifikasi tawa yang ia lampirkan dalam Goro-Goro.
“Menunggu seolah menyuruh kita istirahat, padahal tidak.”
“Aku memang harus menunggu, untuk apa pun itu. Bahkan untuk ini.”
“Untuk berhenti. Biar aku yang beristirahat atas kau yang menurutku terlalu sibuk.”
“Maafkan aku yang payah ini, dunia.”

Lalu riuh rendah percakapan orang-orang pada boulevard di tengah perkotaan ini terdengar seimbang dengan segala ujaranku dalam diam tadi. Lalu aku yang berhenti berujar agar dapat mendengar, mengalah pada sekitar. Seakan ingin berkolaborasi, derum berbagai jenis kendaraan yang melintas pada jalan raya ikut mengisi indera pendengaran ini. Tak lupa bunyi percikan air pada bejana yang tadi aku jelaskan di awal. Serta burung-burung, angin sore, bel sepeda, kerikil yang dilempar anak-anak ke tong sampah, plastik atau kertas yang saling bergesek, notifikasi pesan pada smartphone, dan lain-lainnya. Bunyi dunia. Dunia yang kembali meninggalkanku pada posisi semula.


Muhammad Al Ghifari
Mei 2016




No comments:

Post a Comment