Tuesday, February 23, 2016

Pada Sebuah Bank (Sebuah Cerpen)

Itu adalah musim dingin di tahun 2003 ketika aku pertama melihat wajahnya di antara ramai orang-orang yang memenuhi setiap petak taman di Central Park yang sedang bersalju di sebuah kota yang tak pernah tidur. Seorang teman yang pertama kali aku kenal saat aku kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan New York dimana aku sengaja memilih tempat itu untuk meneruskan pendidikan sarjana ekonomiku. Ia adalah sosok laki-laki pada umumnya dengan gaya berpakaian a la jalanan yang secara konsep tidak pernah aku mengerti sebab gaya ini dengan bebasnya memadukan segala jenis pakaian dalam satu waktu. Cardigan dengan cargo pants, turtleneck sweater dengan hot pants, atau tuxedo dengan legging pants, apa itu? Suatu bencana aku pikir.

Itu adalah musim panas tahun 2004 saat kami sedang duduk bersama di pinggir suatu pantai di daerah Cannes yang sedang senja. Ia sedang meminum sebotol Guinness dingin di bawah payung besar yang menaungi kami ketika duduk di bawah langit yang berwarna jingga itu. Atmosfir pantai yang tenang dengan didukung angin yang berhembus tidak kencang membuat perasaan siapa saja yang sedang berada di sana menjadi damai seperti tidak ada waktu dan rutinitas yang mengikatnya agar dengan demikian seseorang tersebut harus selalu merasa sibuk hingga tidak memiliki waktu untuk dirinya sendiri menikmati dunia. Kemudian tanpa aku sadari sebelumnya, ia berdiri di depanku sambil memberikan sebuah cincin permata sebagai tanda bahwa ia tidak menganggap hubungan kami selesai hanya sebatas teman saja, sebagai tanda bahwa ia bukan seorang pria yang masih ingin bermain-main dengan masa lajangnya, sebagai tanda bahwa kami akan membuat sebuah janji tanpa tulisan bahwa kami akan tidak mencari lagi sosok pasangan untuk saling memberi dan berbagi suatu hal yang sangat dalam dan terlalu abstrak jika dituliskan hanya dengan sebuah kata saja – ini lebih dari itu.

“Ya.” Aku berujar sebelum ia mencium bibirku dengan lembut dan menimang diriku sampai ke suite tempat kami menginap yang menghadap ke arah hamparan laut luas sehingga jika malam hari tiba lampion-lampion yang digantung di sepanjang pantai dapat terlihat indah cahayanya yang masing-masing memiliki warna yang berbeda. Lalu kami bercinta malam itu diiringi album Charlie Parker ketika ia bermain dalam Savoy and Dial Sessions yang menurutku merupakan album terbaik yang pernah direkam.

Itu adalah pertengahan tahun 2005 di tengah pusat kota London yang sedang hujan gerimis ketika aku sedang menyeruput secangkir robusta hangat ditemani oleh sosok dirinya pada sebuah kedai kopi di pinggir perempatan jalan yang pada tiap sudut jalanannya terdapat zebra-cross yang catnya agak memudar akibat terkena radiasi sinar matahari selama bumi berotasi di siang hari agar kemudian matahari tersebut tidak selamanya memberikan radiasinya kepada seluruh penghuni bumi oleh sebab kadar radiasi matahari telah ditetapkan jumlah secara rinci oleh sang pemilik alam semesta supaya kehidupan berjalan dengan baik meskipun terkadang ada saja hal-hal yang membuat kebaikan seolah tidak hadir di antara kami, seperti saat masalah yang timbul di antara kehidupan misalnya. Sama seperti sore yang sedang gerimis itu. Aku sebenarnya tidak ingin menganggapnya sebagai masalah, tetapi tetap saja, ada yang salah sepertinya. Ada yang salah pada dirinya, sepertinya. Setelah meneguk arabica yang sebelumnya telah ia pesan, ia membuka kalimat.

“Maaf.”
“Maaf sebab?”
“Ya, uh.. Apa ya..”
“Bicara saja, seperti kau bicara seperti biasanya kepadaku.”
“Iya. Akan aku lakukan.”
“Sekarang.”
“Akan. Tunggu lah.”
“…”
“Baik.”
“Ya?”
“Maaf.”
“…”
“Maaf karena aku tidak bisa bersama kamu lagi. Kamu pantas untuk mendapatkan orang yang lebih baik.”
“Maksudmu?”
“Iya. Itu maksudku.”

Aku melepaskan cangkir yang sedari tadi aku genggam sehingga cangkir itu kini berada di atas meja berbahan kayu bubinga yang tiap serat kayunya memiliki jarak yang lebar-lebar, cukup lebar sehingga menimbulkan motif belang-belang pada permukaan meja kayu itu. Lalu aku menatap dalam ke matanya sambil menahan seribu pertanyaan yang ingin aku keluarkan dalam satu waktu seperti “Kenapa?”, “Apa sebabnya?”, “Kamu sedang bercanda, kan?”, “Siapa yang menyebabkan kamu mengambil keputusan ini?”, “Siapa orang baru itu?”, “Bagaimana dengan kita?”, dan sembilan ratus sembilan puluh empat pertanyaan lain semacam itu yang seluruhnya siap keluar dari mulutku secara bersamaan. Nyatanya tidak bisa. Hanya diam yang bisa aku lakukan. Lalu ia tersenyum sebelum berkata dan kemudian berlalu.

“Semuanya akan baik-baik saja. Jika tidak baik menurutmu, maka ini bukan akhir atas segalanya.”

Aku masih diam di situ. Seolah dunia menyempit saat ia kemudian berjalan keluar dari kedai kopi itu. Ia berjalan tanpa kemudian membalikkan pandangannya kepadaku sebelum akhirnya benar-benar hilang dari pandangan mataku. Seolah waktu berhenti saat itu. Dan itu air mataku yang jatuh membasahi mata dan eyeliner-ku untuk kemudian itu turun membasahi pipi kiriku terlebih dahulu sebagai pertanda bahwa sedih yang menyebabkan itu jatuh dari mataku. Hal yang ia tinggalkan kepadaku saat itu adalah kenangan dan sebuah cincin permata yang sebelumnya ia letakan di setengah bagian meja dimana tempat ia duduk sebelumnya.

Itu adalah 2016 pada Februari yang sedang cerah di meja kerjaku pada sebuah ruangan yang pada pintunya terdapat tulisan namaku beserta jabatanku di kantor ini agar kemudian orang-orang yang melintas di depannya menjadi tahu bahwa ini adalah ruanganku untuk bekerja sebagai manajer bank. Itu semua terlintas ketika aku sedang duduk dan memandangi cincin permata yang dulu ia berikan saat meninggalkanku di London sendiri sebelas tahun yang lalu tanpa ada kabar tentangnya hingga kini. Seketika aku menyandarkan tubuhku untuk melepaskan diriku dari lamunan panjang yang baru saja terjadi, bunyi letusan senjata api beserta bunyi pecahan kaca menyeruak dari arah pintu utama bank. Pintu ruang kerjaku didobrak secara paksa oleh dua orang yang mengenakan topeng hitam agar dengan demikian hanya kedua bola mata dan garis bibirnya saja yang dapat terlihat.

Mereka membawa paksa aku untuk keluar dari ruang kerjaku dan kemudian dikumpulkan bersama para pegawai dan nasabah bank yang hadir pada hari itu. Kami semua berada pada posisi tengkurap dengan posisi tangan yang terikat di punggung. Aku melemparkan pandanganku ke sekeliling ruangan ini sehingga aku mendapati bahwa sekawanan perampok itu berjumlah lima orang.

“Semua harap tenang. Tidak akan ada yang terluka jika kerjasama yang baik terjalin di antara kita.”
Ujar salah satu dari mereka sambil menggiring paksa rekan kerjaku untuk membukakan pintu brankas agar dengan demikian tiga kawanan perampok selain dirinya dapat masuk ke dalam untuk mengambil sejumlah uang yang akan memenuhi beberapa tas jinjing yang mereka bawa. Satu orang lainnya tampak menjaga dan mengawasi pintu utama bank.

Setelah mereka selesai melakukan apa yang ingin mereka lakukan tersebut mereka meninggalkan bank lalu berjalan ke arah mobil van berwarna navy blue. Dengan pintu bank yang terbuka lebar akibat sebelumnya telah pecah oleh tembakan senjata api yang dibawa mereka sehingga angin kencang dari luar dapat memasuki ruangan lobi bank ini dengan leluasa, aku mendengar salah satu dari kawanan perampok itu berkata kepada kawannya saat mereka memasukkan tas-tas berisi sejumlah uang yang baru mereka dapatkan itu.

“Sudah kubilang padamu, kan?” Ia berhenti lalu melanjutkan kalimatnya.
“Semuanya akan baik-baik saja. Jika tidak baik menurutmu, maka ini bukan akhir atas segalanya.”


Mobil itu lalu beranjak pergi.




Muhammad Al Ghifari
Februari 2016

No comments:

Post a Comment