Senja itu aku berpulang kembali ke kota di mana segala
rutinitas aku jalani, kota Bandung, dari Jakarta yang sedang 30 derajat celcius
lebih sehingga membuat aku melepaskan jas hitam yang aku kenakan untuk acara
sebuah lamaran pernikahan salah seorang saudara yang telah aku hadiri. Dengan
menggunakan kereta pukul empat sore, aku masih duduk menunggu di sana, kursi
tunggu sebuah stasiun di pusat kota Jakarta yang sedang sibuk sebab orang-orang
yang sepertinya dengan sengaja juga pergi berpulang pada waktu yang bersamaan
denganku, mungkin. Mungkin ada yang satu tujuan denganku, mungkin ada juga yang
tidak, mungkin.
Setelah tiba kereta yang aku akan tumpangi, dengan tidak
bersegera, aku memasuki gerbong yang di dalamnya terdapat kursi yang dua hari
sebelumnya telah sengaja aku pesan agar aku dapat duduk di sana, di kursi 2A,
di samping jendela. Sebuah kursi berbalut kulit sintetis berwarna beige yang sepertinya telah didesain
sedemikian rupa untuk dapat menyesuaikan dengan nuansa minimalis pada desain interior
gerbong eksekutif ini. Kuletakkan barang bawaanku di kompartemen yang tersedia
tepat di langit-langit gerbong, di atas jendela. Kemudian aku duduk dengan
berteman David Copperfield karya Charles Dickens serta alunan My Favorite
Things hasil komposisi Oscar Hammerstein II yang mengalun mesra melalui earphone ponsel yang sengaja aku putar.
Aku pikir keadaan
tidak akan bertambah mesra. Setidaknya hal itu yang sedang kupikirkan sebelum
ia akhirnya datang memasuki gerbong ini. Ia adalah wanita seusiaku, dengan
potongan rambut panjang menjuntai pada sepertiga punggungnya yang diperindah
dengan gelombang pada bagian ujung rambutnya, dengan kacamata lensa besar yang
berbingkai menyerupai bentuk persegi, serta dengan kemeja jeans berwarna pale turquoise
yang dirangkap menggunakan sweater
berwarna ivory white yang juga
membuatnya tampak serasi dengan celana panjang chino berwarna coklat sienna serta
sepatu kanvas berwarna putih yang ia kenakan itu. Ia meletakkan tas punggung
Bonjour Adrien yang ia bawa di atas kompartemen barang. Kemudian, ia duduk di
kursi 5A. Dan aku di kursi 2A, membaca David Copperfield pada halaman 27
seperempat paragraf terakhir. Dengan sedikit menengadah, aku melirik pada
sosoknya dari belakang.
“Hai,” aku
menyapa ia yang sedang duduk sambil mengetikkan jarinya pada layar sentuh
ponsel milikknya.
Entahlah
pada siapa ia sedang bertukar pesan pada pukul lima sore di saat kereta ini
sedang melaju melewati kota Bekasi yang sedang hujan gerimis.
“Eh..? Hai,
juga. Ada apa ya?” ia tampak bingung padaku yang tetiba menghampirinya.
“Aku boleh
pindah duduk di sebelahmu, ya? Aku terganggu dengan orang yang duduk di
sebelahku,” kataku sambil menunjuk tempat di mana aku duduk semula.
Ia melirik
sebentar ke arah tempat dudukku, melihat penumpang di sebelah tempat dudukku
yang tertidur dengan pulasnya dengan badan yang posisinya sudah miring ke arah tempat
dudukku.
Kemudian ia
berbalik menatapku dengan senyum yang sepertinya tidak sengaja ia buat akibat
dari tawa yang ia tahan setelah melihat penumpang di sebelahku tadi.
“Boleh,
kok. Silakan saja,” ia lalu mempersilakanku duduk di kursi 5B, tepat di
sebelahnya yang kembali sibuk dengan layar ponselnya itu.
Aku
melanjutkan kembali membaca David Copperfield yang telah mencapai halaman 27
pada seperempat paragraf terakhir sambil kupasang earphone-ku kembali untuk membiarkan Freddie Hubbard meniupkan solo trumpet pada lagu yang ia beri
judul Red Clay.
“Charles
Dickens, ya? Kamu suka baca sastra klasik?” ia bertanya sambil memperhatikan
cover belakang buku yang sedang aku baca.
“Ah, engga juga kok. Aku lebih suka puisi
ketimbang novel, sih. Buku ini
kebetulan saja aku beli pada pameran buku di kampusku minggu lalu,” aku
memberikannya penjelasan.
“Wah, penyair
dong kamu ya?” ia lanjut bertanya.
“Bisa jadi,”
aku menanggapi pertanyaannya sambil tersenyum.
“Kamu
sendiri gimana? Apa interest kamu?”
aku berbalik bertanya padanya yang kini sudah menyimpan ponselnya agar kami
dapat saling bertatap mata dan berbagi cerita.
“Hmm, aku
suka musik. Musik ballad, jazz, dan soul lebih tepatnya,” ia merespon
pertanyaanku dengan antusias. Sepertinya ia tulus berkata dari hatinya, bukan
hanya untuk sekadar meningkatkan harga dirinya di depanku, bukan. Ia tulus
menjawabnya.
“Ballad, jazz, dan soul, ya? Seperti Rumer? George Gershwin? Diana Krall?” aku kembali
bertanya.
“Ya! Kamu
juga suka mereka? Aku suka banget
sama mereka soalnya. Mereka seperti guru aku untuk bermusik,” ia kembali dengan
segala antusiasme yang ia miliki menjawab pertanyaanku tadi.
“Kurang
lebih begitu,” jawabku kembali sambil tersenyum dan sesekali menganggukkan
kepalaku agar ia mengerti bahwa aku pun sependapat dengannya.
“Eh iya,
aku hampir lupa mengenalkan diriku. Namaku Muhammad,” aku mengenalkan diriku
sambil menyodorkan tanganku padanya.
“Namaku….”
Ketika ia
akan menyebutkan namanya sambil menyambut jabatan tanganku agar kami dapat
saling menggenggam erat tangan kami, solo
trumpet yang dimainkan oleh Hubbard dalam komposisi lagu Red Clay sedang
mencapai klimaksnya. Ketukan drum saling beradu dengan alunan contra bass, electric piano, dan brass section yang mengiringi bagian solo
ini. Membuatnya seakan-akan aku dalam kegelisahan tingkat tinggi sehingga
mengakibatkan aku berada pada anomali dunia nyata dan alam bawah sadar ini. Aku
seperti dalam sebuah perjalanan halusinasi yang tidak aku tahu ke mana ini akan
membawaku dan kapan ini akan berhenti. Aku seperti terbawa progresi chord yang dimainkan secara berulang,
namun dinamis. David Copperfield yang aku baca sudah mencapai halaman 27 pada
seperempat paragraf terakhir. Aku duduk di kursi 2A, dan ia duduk di kursi 5A. Dengan
sedikit menengadah, aku melirik pada sosoknya dari belakang.
Kemudian
aku buka halaman 28.
Muhammad
Al Ghifari
April 2015