Bau tanah basah selepas hujan
turun, manja sinar matahari di antara pukul 8 hingga 10 pagi yang menyusup
diam-diam melalui dedaunan pada pohon, tujuh per delapan beat musik jazz yang mengayun dengan was-was yang disertai nada-nada
lydian dan dorian namun dengan demikian ia menciptakan dinamika mood yang kontras tiap bar-nya bagi siapa pun yang mendengar, campuran
aroma robusta yang telah digiling
dengan teliti serta diseduh dengan air panas melalui proses French press dan aroma tembakau yang
dibakar, merupakan beberapa dari banyak hal yang aku sukai. Kesempurnaan bagiku
adalah dengan dapat kunikmati keseluruhan hal tersebut pada satu waktu. Itu
adalah terjadi di pagi ini. Pagi ini adalah tepat pukul delapan lewat empat
puluh tiga di sebuah teras kedai kopi. Teras itu memiliki desain interior dengan
konsep mid-century modern style yang
terdefinisi dengan mayoritas material berbahan kayu dan dengan adanya lampu
model sputnik chandelier yang
tergantung di plafon teras yang langsung menghadap ke kebun yang ditanami berbagai
jenis pohon yang aku tidak ingin klasifikasikan jenisnya satu per satu.
Aku menghirup aroma kopi yang
baru saja berpindah dari baki seorang waiters
ke atas meja berbahan jati tempat aku berada pagi ini kemudian aku
menyeruputnya dengan tidak tergesa-gesa.
“Pahit,” ujarku tak bersuara.
Memang aku tidak terbiasa
untuk menikmati kopiku dengan tambahan gula sehingga membuat rasanya menjadi
tidak pahit. Aku lebih suka menikmatinya begitu saja; hangat dan tanpa gula.
“Nikmat.”
Aku menutup seruput kopi
keduaku untuk meninggalkannya sejenak agar beberapa derajat celcius yang terukur pada cangkir kopi
ini berubah skalanya menjadi sedikit lebih kecil daripada sebelumnya sambil aku
menelusuri beberapa headline berita
yang terpampang pada koran hari ini.
Tepat pada sembilan lewat
tujuh belas, bel gantung di pintu depan kedai kopi itu berbunyi bersamaan
dengan terbukanya pintu tersebut agar dengan demikian bunyi itu memberi tanda
bahwa ada pengunjung yang hadir. Aku secara tidak bersamaan dengan bunyinya bel
itu melemparkan pandanganku ke sumber bunyi tersebut untuk mengidentifikasi
wajah-wajah yang baru saja hadir di pagi ini. Oh, rupanya hanya satu wajah. Sosok wanita berkacamata dengan
rambut hitam panjang sepertiga punggung yang warna kulitnya kuning langsat. Ia
mengenakan kemeja putih dengan celana bahan panjang berwarna hitam yang
dilengkapi dengan sepatu wedges
berwarna flax. Serta lihat lah itu
tas jinjingnya yang berbahan kulit. Cantik.
Aku sangat mengaggumi segala ciptaan
Tuhan. Alam semesta, inspirasi yang hadir ketika kaum kulit gelap sedang
berelegi sehingga mereka menyalurkannya ke dalam nada-nada indah yang orang
sebut sebagai musik jazz, dan tentu saja aku mengaggumi dia yang baru saja
masuk ke dalam kedai kopi ini dan masuk ke dalam diafragma mataku untuk
kemudian mungkin diteruskan, ya, mungkin
diteruskan ke dalam hati. Sejenak aku memandangnya serta sejenak kemudian
pula aku menyadari sesuatu. Dia adalah kawanku. Kawanku sepuluh tahun yang
lalu. Di universitas itu. Ya, itu dia.
Dia tidak biasa bagiku,
tepatnya sepuluh tahun yang lalu. Aku pernah mengagumi dia dan tidak sempat aku
mengatakan kepadanya oleh sebab kesempatan yang tidak memungkinkan dan alam
semesta yang aku rasa dulu tidak pernah mendukungku. Sepuluh tahun kemudian, di
tempat ini, aku bertemu dia. Apakah ini
bentuk dukunganmu, alam?
Dengan agak ragu namun tetap
berpegang pada rindu sepuluh tahun tak berjumpa dan keyakinanku atas permainan
alam semesta di pagi ini aku menghampirinya untuk menyapa.
“Hai,” sapaku hangat untuknya.
“Ya? Siapa, ya?” Dia menyapaku
kembali dengan refleks yang menurutku wajar sebab aku asing baginya.
“Ini aku, kawanmu sepuluh tahun lalu di universitas itu.”
“Ya, Tuhan! Kamu? Apa kabar?”
Ia terkejut, terlihat dari pupil matanya yang membesar dan ekspresinya yang
berubah drastis.
“Baik. Kamu bagaimana? Yuk, duduk di mejaku.” Aku mengajaknya untuk
berbicara.
Dia mengiyakan ajakanku tadi.
Lalu kini kami berada di meja
tempatku semula berada tadi, melepas rindu melalui kata demi kata, cerita demi
cerita, serta tawa. Jangka waktu yang terlewat sehingga menciptkan jarak yang
begitu renggang di antara kami kini seolah tidak bermakna lagi. Kami kembali
pada sepuluh tahun yang lalu melalui percakapan ini.
“Mau pesan kopi?” Aku menawarkan.
“Aku bawa botol air mineralku,
ada di tasku.” Ia mengeluarkan botolnya sambil tersenyum bersamaan dengan bunyi
smartphone yang menurut pendengaranku
berasal dari dalam tasnya.
“Halo? Oh, iya. Aku di dalam
ya. Ada. Sama kawan lamaku. Tak direncanakan kok. Iya. Oke. Dah.”
Ia menjawab panggilan masuk
tersebut.
“Sampai mana kita tadi? Ah
iya!”
Lalu kami saling berbicara
kembali. Berbicara tentang hal-hal di masa lalu hingga masa kini. Aku senang
berbicara dengannya, tatap matanya selalu terlihat berbinar menandakan bahwa ia
tertarik dengan hal-hal yang aku utarakan. Senyumannya masih sama untuk
membuatku terkagum padanya waktu sepuluh tahun yang lalu itu. Sekarang pun aku
terkagum. Apa ini maksudmu, alam? Bantu
aku.
Di saat kami sedang berbicara,
bel gantung di pintu depan kedai kopi itu berbunyi bersamaan dengan terbukanya
pintu tersebut agar dengan demikian bunyi itu memberi tanda bahwa ada pengunjung
yang hadir. Aku secara tidak bersamaan dengan bunyinya bel itu melemparkan
pandanganku ke sumber bunyi tersebut untuk mengidentifikasi wajah-wajah yang baru
saja hadir di pagi ini. Oh, rupanya hanya
satu wajah. Dia pun melemparkan pandangannya ke sumber bunyi tersebut untuk
mengidentifikasi. Seorang dengan perawakan yang tinggi dilengkapi dengan bentuk
dada yang membidang. Ia mengenakan kemeja putih dengan celana bahan panjang
berwarna hitam yang dilengkapi dengan sepatu docmart berwarna cinnamon
untuk menyatakan gaya casual-nya.
“Hei! Di sini, lho. Di sini!”
Secara tiba-tiba dia melambaikan tangan untuk memanggil pria itu. Pria tersebut
lalu membalas lambaian tangannya dan menghampiri tempat kami berada.
Sesaat pria tersebut berada di
tengah-tengah keberadaan kami, dia berbicara kepada pria itu.
“Kenalkan, ini kawanku di
universitas itu sepuluh tahun yang lalu.”
Aku tersentak, diam untuk
sejenak sambil bertanya-tanya banyak. Pria itu menjulurkan tangannya sambil
menyebutkan nama dan tersenyum. Aku membalas menjulurkan tanganku untuk
menjabat tangannya sambil menyebutkan namaku.
“Salam kenal,” ujarku pada pria itu setelah berjabat tangan.
“Aku pesan untuk take away lalu kutunggu kamu di luar,
ya?” Pria itu berkata kepada dia.
“Oke,” dia merespon ucapan
pria itu.
Setelah itu kami saling
berbicara kembali untuk beberapa saat sebelum kulihat dia membereskan beberapa
isi tasnya yang sebelumnya ia keluarkan untuk diletakkan di atas meja jati ini.
Dia meminta izinku untuk pergi mendahuluiku. Dengan tersenyum namun di dalam
hati sebenarnya tak ingin, aku mengiyakan.
“Mau pergi ke mana kamu sekarang?”
“Ke luar, menemuinya.” Jawab
dia.
“Pria tadi? Oh, aku sampai lupa bertanya. Siapa pria itu?”
Dia berdiri setelah
membereskan isi tasnya, merapikan tempat duduknya ke posisi semula yakni berada
rapat dengan ujung meja jati itu, lalu merapikan rambutnya sambil tersenyum dan
menjawab pertanyaan yang tadi aku berikan.
“Suamiku.” Katanya demikian
lalu melanjutkan.
“Sampai jumpa lagi?”
Aku kembali tersentak, diam
untuk sejenak sambil bertanya-tanya banyak. Lalu aku menjawab.
“Ya, sampai jumpa lagi.”
Dia kemudian berlalu dari
pandanganku, berlalu keluar dari diafragma mataku bersamaan keluar dari hatiku,
menyisakan rongga sedemikian besar-kecil luasnya namun sangat terasa bagiku
untuk dapat diartikan sebagai rasa hampa. Ia pernah sesaat ada, kini ia kembali
tak ada. Sepuluh tahun aku menunggu untuk alam merancang permainannya di pagi
ini, lalu berlalu begitu saja. Kini waktu menunjukkan sepuluh lewat sembilan
belas. Aku menenggak habis cangkir kopiku yang sudah lama dingin itu. Ya,
kopiku masih pahit seperti semula tadi aku mulai meminumnya. Seperti saat tadi
ia masih hangat hingga sekarang ia berganti menjadi dingin. Kopi ini memang
pahit, namun bagaimana kopi itu bisa nikmat bergantung pada cara memaknainya.
Seperti hidup ini. Seperti hal yang baru saja terjadi kepadaku di pagi ini, di
teras kedai kopi ini.
“Nikmat,” ujarku saat
meletakkan kembali cangkir kopiku yang sudah kosong itu.
Muhammad Al Ghifari
Mei 2016