Aku melemparkan sekeping uang
logam ke dalam instalasi seni berupa bejana air berbentuk seperti tempayan
dengan ukiran bunga yang menjalar yang dengan bantuan motor listrik ia dapat
menyemburkan air ke arah langit agar percikannya turun kembali memenuhi bejana
tersebut secara teratur dan memiliki nilai estetika bagi siapa yang
memandangnya. Itu adalah kepingan uang logam yang sebelumnya bertempat di dalam
kantong kemeja flannel berwarna navy blue yang aku kenakan pada hari
yang sedang mendung ini. Di tengah boulevard yang tidak terlalu banyak orang
yang berjalannya itu aku berdiri, memandang langit sejenak, menghembuskan satu
tarikan nafas, kemudian aku duduk di kursi kayu pada garis antara jalan dan
rerumputan taman.
“Hai, dunia. Kau terlalu
sibuk,” aku berujar dalam diam.
“Tidak bisakah kau beristirahat
sejenak agar kita berada dalam posisi yang sejajar?”
“Apa? Bukan seperti itu kah, dunia?”
“Ah, benar.”
“Aku yang mungkin sudah payah
dan terlanjur lelah,” sambil tersenyum aku masih berujar dalam diam.
Hari itu adalah hari yang
tidak buruk menurutku. Mendung yang terhampar di antara angkasa sore itu tidak
kupandang sebagai pertanda hal yang kelam, melainkan suatu teduh yang meskipun
saling berfriksi dengan kelit definisi yang aku sampaikan mengenainya, tetapi
ia harmoni. Setidaknya harmoni denganku. Mungkin orang-orang yang tampak dalam
batas lensa mataku yang sudah lama minus 5,75 di depanku ini, yang sejajar
posisinya dengan berjalannya dunia, yang masih tangguh dan tidak pula lelah,
memiliki persepsi yang berbeda terhadap langit mendung sore hari ini yang tadi kudefinisikan.
“Dunia, kau memberiku banyak
warna. Dengan masing-masing makna,” aku melanjutkan.
“Oh, tentu saja aku tahu!”
“Agar menjadi indah menurutmu,
kan?”
“Ah..”
“Jika pemberianmu adalah pilihan,
tentu tidak kupilih itu warna yang kegelap-gelapan.”
“Tapi kini semuanya sudah
saling berdistraksi menjadi kegelap-gelapan, karena tidak bisa aku memilih.”
Aku ingin melemparkan koin
kedua, tetapi kantong flannel ini sudah
tidak berisi.
“Lalu apa ini maksud dari konsep
menunggu?” kembali aku berujar, masih dalam diam.
“Hahaha..” aku tertawa, yang
menurut Putu Wijaya tergolong ke dalam tertawa karena terlalu jengkel dan putus
asa dalam klasifikasi tawa yang ia lampirkan dalam Goro-Goro.
“Menunggu seolah menyuruh kita
istirahat, padahal tidak.”
“Aku memang harus menunggu, untuk
apa pun itu. Bahkan untuk ini.”
“Untuk berhenti. Biar aku yang beristirahat
atas kau yang menurutku terlalu sibuk.”
“Maafkan aku yang payah ini,
dunia.”
Lalu riuh rendah percakapan
orang-orang pada boulevard di tengah perkotaan ini terdengar seimbang dengan
segala ujaranku dalam diam tadi. Lalu aku yang berhenti berujar agar dapat mendengar,
mengalah pada sekitar. Seakan ingin berkolaborasi, derum berbagai jenis kendaraan
yang melintas pada jalan raya ikut mengisi indera pendengaran ini. Tak lupa bunyi
percikan air pada bejana yang tadi aku jelaskan di awal. Serta burung-burung,
angin sore, bel sepeda, kerikil yang dilempar anak-anak ke tong sampah, plastik
atau kertas yang saling bergesek, notifikasi pesan pada smartphone, dan lain-lainnya. Bunyi dunia. Dunia yang kembali
meninggalkanku pada posisi semula.
Muhammad Al Ghifari
Mei 2016
No comments:
Post a Comment