Jika memang yang mungkin terasa sementara tak akan bisa selamanya, maka
apakah yang mungkin terasa selamanya tak akan bisa menjadi sementara?
Renungku di atas sebuah kursi
kayu berbentuk lingkaran yang kaki-kakinya memiliki tinggi sekira 72 cm itu di posisi
kedua dari pojok paling kanan di sebuah bar, di samping kiri dinding yang
sedang menggantung poster iklan produk whiskey
yang harga satu botolnya dapat membiayai kuliahku selama satu perempat semester
itu, di bawah temaram lampu-lampu yang masing-masingnya sengaja digantung
dengan kabel ulir yang memanjang dari plafon langit-langit ke fitting-nya, dan di dalam suasana musik lounge yang membawa mood siapa saja yang mendengarnya di malam itu menjadi tenang
seperti permukaan danau Plivitce pada remang cahaya bulan di tengah malam di
salah satu bagian wilayah Kroasia. Lagu yang diputar sekarang adalah karya Tom
Misch.
Seolah ingin memberikan
kontradiksi pada suasana yang dicitrakan musik lounge bar pada malam itu, aku berpikir keras sehingga dentuman
musik berkategori drum & bass yang
hentakannya konstan pada 84 beat per
minute tidak lagi terdengar melalui dua rongga telingaku. Di bawah temaram cahaya
lampu yang kekuningan ini setiap pasang kaki para manusia pencari kesenangan itu
saling bergerak teratur dengan tempo yang diarahkan Tom Misch melalui musiknya.
Sebuah keteraturan yang indah menurutku. Aku ingin membaur di sana, tapi tidak,
tidak bisa. Aku masih tenang ditemani
pikiranku yang mulai mengajakku bercengkrama.
Aku mengalihkan pikiranku
dengan cara melempar pandangan pada beberapa pengunjung di antara riuh rendah
bunyi bahasa dialog mereka yang tidak dapat aku transkripsi secara satu per
satu di dalam otakku. Wajah-wajah yang bahagia dan penuh tawa yang secara
spontan terujar dari mulut mereka akibat ujaran kawan bicaranya yang cukup
untuk membuat mereka tertawa seperti demikian kiranya, seperti tidak ada beban
yang harus dipikirkan di kemudian hari yang memang seharusnya untuk dipikirkan.
Tidak, tidak pada malam ini mungkin menurut mereka. Berbeda denganku.
“Hai,” ujarnya yang seketika
menghampiriku untuk memecah diam yang sejak tadi bersamaku.
“Oh, hai.”
“Mengapa kau di sini?”
tanyanya kepadaku secara ramah.
“Menenangkan diri, pikiran, apa pun yang bisa aku tenangkan.”
“Sudah lama kita tidak berjumpa, ya?” Aku berbalik bertanya
kepadanya.
“Mengapa? Kau rindu?” Agak
menyebalkan ketika ia menjawab pertanyaanku dengan sebuah pertanyaan.
“Ya. Tidak. Mungkin…”
“…Sangat.” Aku melanjutkan jawaban.
“Tentu saja kau rindu padaku.
Dahulu kita indah bersama, kan?”
“Ya.”
“Tidak setelah sekarang.”
“Setelah kau berteman dengan
kesibukanmu bukan. Seolah aku tidak lagi ada. Atas itu semua.”
“Setelah kau dewasa. Seolah
masalah merupakan temanmu juga sehingga aku kau yang kau salahkan.”
“Setelah kau tidak lagi
menghargaiku yang selalu ada untukmu. Seolah aku tidak ada harganya untuk
kemudian kau sia-siakan.”
“Iya.”
“Aku menyesal untuk itu semua. Kembali
lah, ada untuk aku lagi. Seperti
indahnya dahulu.”
Aku menjawab semua
pernyataannya tadi.
“Hei, kau tau aku selalu ada.”
Jawabnya sambil tersenyum.
“Ya. Tidak lagi kau akan aku abaikan.”
Setelah tegukan terakhir dari
gelas whiskey ketiga yang aku pesan tadi, aku melihatnya kembali berlalu. Berlalu di antara keramaian manusia di
atas lantai bar berbahan marmer yang mengkilap akibat memantulkan cahaya lampu.
Ia berlalu setelah tadi menyapaku dengan hangat.
Ia adalah teman lamaku, Tuan
Waktu.
Muhammad Al Ghifari
Maret 2016