Itu adalah musim dingin di
tahun 2003 ketika aku pertama melihat wajahnya di antara ramai orang-orang yang
memenuhi setiap petak taman di Central Park yang sedang bersalju di sebuah kota
yang tak pernah tidur. Seorang teman yang pertama kali aku kenal saat aku
kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan New York dimana aku sengaja
memilih tempat itu untuk meneruskan pendidikan sarjana ekonomiku. Ia adalah
sosok laki-laki pada umumnya dengan gaya berpakaian a la jalanan yang secara konsep tidak pernah aku mengerti sebab
gaya ini dengan bebasnya memadukan segala jenis pakaian dalam satu waktu. Cardigan dengan cargo pants, turtleneck
sweater dengan hot pants, atau tuxedo dengan legging pants, apa itu? Suatu bencana aku pikir.
Itu adalah musim panas tahun
2004 saat kami sedang duduk bersama di pinggir suatu pantai di daerah Cannes yang
sedang senja. Ia sedang meminum sebotol Guinness
dingin di bawah payung besar yang menaungi kami ketika duduk di bawah langit
yang berwarna jingga itu. Atmosfir pantai yang tenang dengan didukung angin
yang berhembus tidak kencang membuat perasaan siapa saja yang sedang berada di
sana menjadi damai seperti tidak ada waktu dan rutinitas yang mengikatnya agar
dengan demikian seseorang tersebut harus selalu merasa sibuk hingga tidak
memiliki waktu untuk dirinya sendiri menikmati dunia. Kemudian tanpa aku sadari
sebelumnya, ia berdiri di depanku sambil memberikan sebuah cincin permata
sebagai tanda bahwa ia tidak menganggap hubungan kami selesai hanya sebatas
teman saja, sebagai tanda bahwa ia bukan seorang pria yang masih ingin bermain-main
dengan masa lajangnya, sebagai tanda bahwa kami akan membuat sebuah janji tanpa
tulisan bahwa kami akan tidak mencari lagi sosok pasangan untuk saling memberi dan
berbagi suatu hal yang sangat dalam dan terlalu abstrak jika dituliskan hanya
dengan sebuah kata saja – ini lebih dari itu.
“Ya.” Aku berujar sebelum ia
mencium bibirku dengan lembut dan menimang diriku sampai ke suite tempat kami menginap yang
menghadap ke arah hamparan laut luas sehingga jika malam hari tiba lampion-lampion
yang digantung di sepanjang pantai dapat terlihat indah cahayanya yang
masing-masing memiliki warna yang berbeda. Lalu kami bercinta malam itu
diiringi album Charlie Parker ketika ia bermain dalam Savoy and Dial Sessions yang menurutku merupakan album terbaik yang
pernah direkam.
Itu adalah pertengahan tahun
2005 di tengah pusat kota London yang sedang hujan gerimis ketika aku sedang
menyeruput secangkir robusta hangat ditemani oleh sosok dirinya pada sebuah
kedai kopi di pinggir perempatan jalan yang pada tiap sudut jalanannya terdapat
zebra-cross yang catnya agak memudar
akibat terkena radiasi sinar matahari selama bumi berotasi di siang hari agar
kemudian matahari tersebut tidak selamanya memberikan radiasinya kepada seluruh
penghuni bumi oleh sebab kadar radiasi matahari telah ditetapkan jumlah secara
rinci oleh sang pemilik alam semesta supaya kehidupan berjalan dengan baik
meskipun terkadang ada saja hal-hal yang membuat kebaikan seolah tidak hadir di
antara kami, seperti saat masalah yang timbul di antara kehidupan misalnya.
Sama seperti sore yang sedang gerimis itu. Aku sebenarnya tidak ingin
menganggapnya sebagai masalah, tetapi tetap saja, ada yang salah sepertinya.
Ada yang salah pada dirinya, sepertinya. Setelah meneguk arabica yang sebelumnya
telah ia pesan, ia membuka kalimat.
“Maaf.”
“Maaf sebab?”
“Ya, uh.. Apa ya..”
“Bicara saja, seperti kau
bicara seperti biasanya kepadaku.”
“Iya. Akan aku lakukan.”
“Sekarang.”
“Akan. Tunggu lah.”
“…”
“Baik.”
“Ya?”
“Maaf.”
“…”
“Maaf karena aku tidak bisa
bersama kamu lagi. Kamu pantas untuk mendapatkan orang yang lebih baik.”
“Maksudmu?”
“Iya. Itu maksudku.”
Aku melepaskan cangkir yang
sedari tadi aku genggam sehingga cangkir itu kini berada di atas meja berbahan
kayu bubinga yang tiap serat kayunya memiliki
jarak yang lebar-lebar, cukup lebar sehingga menimbulkan motif belang-belang
pada permukaan meja kayu itu. Lalu aku menatap dalam ke matanya sambil menahan
seribu pertanyaan yang ingin aku keluarkan dalam satu waktu seperti “Kenapa?”, “Apa
sebabnya?”, “Kamu sedang bercanda, kan?”, “Siapa yang menyebabkan kamu
mengambil keputusan ini?”, “Siapa orang baru itu?”, “Bagaimana dengan kita?”,
dan sembilan ratus sembilan puluh empat pertanyaan lain semacam itu yang
seluruhnya siap keluar dari mulutku secara bersamaan. Nyatanya tidak bisa.
Hanya diam yang bisa aku lakukan. Lalu ia tersenyum sebelum berkata dan
kemudian berlalu.
“Semuanya akan baik-baik saja.
Jika tidak baik menurutmu, maka ini bukan akhir atas segalanya.”
Aku masih diam di situ. Seolah
dunia menyempit saat ia kemudian berjalan keluar dari kedai kopi itu. Ia
berjalan tanpa kemudian membalikkan pandangannya kepadaku sebelum akhirnya
benar-benar hilang dari pandangan mataku. Seolah waktu berhenti saat itu. Dan
itu air mataku yang jatuh membasahi mata dan eyeliner-ku untuk kemudian itu turun membasahi pipi kiriku terlebih
dahulu sebagai pertanda bahwa sedih yang menyebabkan itu jatuh dari mataku. Hal
yang ia tinggalkan kepadaku saat itu adalah kenangan dan sebuah cincin permata
yang sebelumnya ia letakan di setengah bagian meja dimana tempat ia duduk
sebelumnya.
Itu adalah 2016 pada Februari
yang sedang cerah di meja kerjaku pada sebuah ruangan yang pada pintunya
terdapat tulisan namaku beserta jabatanku di kantor ini agar kemudian
orang-orang yang melintas di depannya menjadi tahu bahwa ini adalah ruanganku
untuk bekerja sebagai manajer bank. Itu semua terlintas ketika aku sedang duduk
dan memandangi cincin permata yang dulu ia berikan saat meninggalkanku di
London sendiri sebelas tahun yang lalu tanpa ada kabar tentangnya hingga kini.
Seketika aku menyandarkan tubuhku untuk melepaskan diriku dari lamunan panjang
yang baru saja terjadi, bunyi letusan senjata api beserta bunyi pecahan kaca
menyeruak dari arah pintu utama bank. Pintu ruang kerjaku didobrak secara paksa
oleh dua orang yang mengenakan topeng hitam agar dengan demikian hanya kedua
bola mata dan garis bibirnya saja yang dapat terlihat.
Mereka membawa paksa aku untuk
keluar dari ruang kerjaku dan kemudian dikumpulkan bersama para pegawai dan
nasabah bank yang hadir pada hari itu. Kami semua berada pada posisi tengkurap
dengan posisi tangan yang terikat di punggung. Aku melemparkan pandanganku ke
sekeliling ruangan ini sehingga aku mendapati bahwa sekawanan perampok itu
berjumlah lima orang.
“Semua harap tenang. Tidak
akan ada yang terluka jika kerjasama yang baik terjalin di antara kita.”
Ujar salah satu dari mereka sambil
menggiring paksa rekan kerjaku untuk membukakan pintu brankas agar dengan
demikian tiga kawanan perampok selain dirinya dapat masuk ke dalam untuk
mengambil sejumlah uang yang akan memenuhi beberapa tas jinjing yang mereka
bawa. Satu orang lainnya tampak menjaga dan mengawasi pintu utama bank.
Setelah mereka selesai
melakukan apa yang ingin mereka lakukan tersebut mereka meninggalkan bank lalu
berjalan ke arah mobil van berwarna navy blue. Dengan pintu bank yang
terbuka lebar akibat sebelumnya telah pecah oleh tembakan senjata api yang
dibawa mereka sehingga angin kencang dari luar dapat memasuki ruangan lobi bank
ini dengan leluasa, aku mendengar salah satu dari kawanan perampok itu berkata
kepada kawannya saat mereka memasukkan tas-tas berisi sejumlah uang yang baru
mereka dapatkan itu.
“Sudah kubilang padamu, kan?”
Ia berhenti lalu melanjutkan kalimatnya.
“Semuanya akan baik-baik saja.
Jika tidak baik menurutmu, maka ini bukan akhir atas segalanya.”
Mobil itu lalu beranjak pergi.
Muhammad Al Ghifari
Februari 2016