November hampir
habis ketika hujan mengguyur kota itu. Itu adalah kota Bandung, yang pada salah
satu cafénya ada mereka sedang berbicara seusai makan siang.
“Tidak, pergi ke
sana kan jauh sekali.”
“Ah, masih lebih
jauh Ekuador kan? Atau apa itu, oh.. Madagaskar.”
“Bisa saja kamu,”
dia tertawa, setengah saja.
Saya selalu suka
berbicara bersama dia. Tentang hal apa saja, akan tidak membosankan jika
bersama dia.
“Lalu, siapa itu?
Warman? Tarman? Parman? Temanmu yang dokter hewan itu.”
“Bokir, maksudmu?
Iya, sekarang dia mengambil pendidikan dokter. Dokter orang kali ini.”
“Oh,” dia kembali
mengaduk Dilmah beraroma earl gray untuk kemudian meminumnya perlahan
sementara saya menenggak gelas bir kedua yang baru saja diantar pelayan yang
tutur katanya sopan itu.
Aku bukan
pengagum musik jazz konvensional. Coltrane? Parker? Nada macam apa yang mereka
mainkan dalam birama 4/4, 9/8, lalu 5/8 itu? Dengan bunyi burung serak pada saxophone-nya itu mereka mungkin dapat
menakut-nakuti tikus di rumahku yang selalu mengganggu ketika aku memasak apple pie.
Kali ini
komposisi A Night in Tunisia yang
menjadi latar pembicaraan mereka.
“Dizzy Gillespie,
peniup trumpet favorit saya. Gurunya
si Sandoval.” Saya sedikit mendeskripsikan.
“Ya. Tidak. Tidak
tahu..?”
“Ah, kamu coba
lah sesekali dengar jazz.”
Dia, ketika
tersenyum, memang menarik. Saya tertarik. Pembicaraan yang baik, senyum yang
menarik.
“Lalu aku bilang,
aku ingin punya toko kue. Aku ingin berbisnis.”
“Hebat. Saya
ingin jadi guru.”
“Kenapa?”
“Kenapa jadi guru
maksudmu? Karena saya kagum. Bukan pada pendidikan, tapi pada ibu-ibu guru yang
cantik. Setidaknya demikian ujar Gitanyali.”
“Hahaha, kamu
aneh.”
“Wanita semenarik
kamu ingin punya toko kue. Kamu bisa jadi aktris atau supermodel. Kamu yang
aneh.”
“Mungkin. Tapi tetap
saja kamu yang aneh. Musisi jazz mata keranjang yang mau jadi guru? Kamu
ancaman kepada dunia pendidikan.”
Dia humoris. Aku
suka pria humoris. Tapi dia bukan tipeku, setidaknya belum menjadi tipeku untuk
saat ini.
“Apa maksud
perkataanmu? Aku terlalu kaku? Kamu rupanya suka menilai orang.”
“Tidak, saya
tidak suka menilai orang. Tapi kamu memang kaku secara kepribadian.”
“Semaumu saja
lah, orang aneh.”
“Lihat siapa yang
suka menilai orang sekarang.”
Mereka sama-sama
diam kali ini. Sekira 27 menit tidak ada pembicaraan di antara mereka.
“Saya minta
maaf,” saya agak menunduk ketika berkata demikian.
“Ya, begitu pun
aku.”
“Ah, tidak. Saya
yang salah.”
“Tapi aku yang
tadi lancang.”
“Sudah lah. Tak
apa bagi saya.”
“Aku pun sudah
lupa mengapa kita sampai berselisih tadi.”
“Hehe.”
Mendungnya awan
telah dibawa angin pergi berlabuh ke sisi bumi yang lain. Sisi bumi yang kering
dan tandus sehingga penduduknya berada dalam masa kesulitan karena sawah-sawah
yang belum kebagian rizki dari sang halikuljabbar.
Sehingga dengan demikian mereka berdoa dengan tulus dan penuh pengharapan agar
setidaknya satu jam saja – atau dua jam, kalau boleh – awan mendung datang
mengunjungi mereka dan menghadiahi pancuran hujan. Doa yang tulus tanpa terikat
waktu karena waktu memiliki ‘ruangnya’ sendiri yang tidak dipengaruhi – sebab ia
mempengaruhi. Waktu mempengaruhi seseorang atau sesuatu dengan caranya yang
biasa namun luar biasa: berlalu. Dengan berlalunya waktu, mereka menjadi merasa
berkeharusan untuk meninggalkan café itu, menghentikan pembicaraan yang baik.
“Aku harus
pulang.”
“Baik, saya pun
demikian jika kamu merasa demikian.”
“Pembicaraan yang
baik.”
“Ya, kamu menarik
bagi saya.”
“Ya.”
“Ya.”
“…..”
“…..”
“…..”
“Katamu kamu
harus pulang, bukan?”
“Iya. Janji bahwa
kita akan berbicara bersama lagi nanti, ya?”
“Iya, saya janji.”
“….”
“Kok, diam?”
“Tidak.”
“Yuk, saya antar
kamu pulang.”
Dia tersenyum
dengan senyuman yang seperti tadi ketika saya tertarik dengannya.
“Yuk!”
Muhammad
Al Ghifari
Desember 2015