Di bawah seperempat sinar matahari pada sebuah pagi
itu aku bersandar pada tiang mahogany
yang agak lapuk untuk menopang balkon pada rooftop
apartemen tempat aku tinggal. Shubuh baru usai. Menenggak secangkir kopi dan
menghisap sebatang rokok bukan caraku menghayati pagi. Cukup memandang dan
merasakan atmosfirnya saja, sudah cukup bagiku untuk menghayatinya. Begitu
kiranya ritual pagi hariku. Setelah aku mengambil pandangan kepada sebagian sempit
suasana kota tempat aku tinggal dari atas balkon ini, aku masuk kembali ke dalam
ruangan apartemenku. Kuhidupkan lampu ruangan ini agar suasananya menjadi
hangat. Lampu ruangan ini bercahaya kuning sehingga menimbulkan efek remang
pada ruangan berkarpet beludru ini, yang serasi dengan langit di luar yang
masih biru gelap. Entah lah, setidaknya demikian menurutku. Aku tersenyum,
menghayati pagi ini.
Aku menuju ke upright
piano berlabel Steinway & Sons
yang dahulu ketika pertama kali aku pindah ke apartemen ini secara sengaja aku
posisikan di pojok ruangan dan menghadap ke arah pintu dan jendela kaca balkon. Aku suka sekali pada
sebuah nomor jazz standard dengan
nada dasar EbMaj7 yang ditulis Errol Garner: Misty. Ini juga salah satu ritualku pada pagi hari. Memainkan jazz. Aku buka papan penutup tuts piano ini
lalu aku mainkan.
“…don't you notice how hopelessly I'm lost.
That's why I'm following you…”
Kemudian pada bait terakhirnya.
“On my own
would I wander through this wonderland alone
never knowing my right foot from my left
my hat from my glove
I'm too misty and too much in love…”
Lalu dering telepon genggam berbunyi ketika belum
sempat aku selesaikan part solo piano
dalam lagu ini. Aku berhenti. Dering alarm reminder
rupanya. Aku tidak bergegas untuk mengambil telepon genggam itu untuk kemudian
aku lihat pesannya.
Tidak
begitu penting.
Tidak
penting.
Tidak
begitu.
Tidak.
Aku bejalan untuk kembali duduk di depan piano.
Aku bejalan untuk kembali duduk di depan piano.
Dia
terbangun dari kamarnya. Membuka pintu dengan perlahan sambil kulihat kepalanya
mengintip dari balik pintu. Kemudian dengan mukanya yang masih tampak lelah dia
berjalan keluar dari kamarnya. Wajahnya manis berbentuk agak menyerupai
lingkaran dengan dihiasi rambut panjang yang bergelombang di bagian ujungnya.
Masih seperti waktu dahulu. Aku tersenyum melihatnya.
Dia melihat
ke lampu ruangan yang telah aku nyalakan sebelumnya, lalu dia mematikannya.
Kemudian dia berjalan ke pojok ruangan, ke piano yang aku mainkan sebelumnya,
lalu dia tutup papan penutup tuts piano yang terbuka itu. Dia kemudian
mengambil kacamatanya, juga telepon genggamnya, dan kemudian dia membaca pesan reminder di telepon genggamnya.
“Tahun kelima. You wouldn't know how difficult to pass the time since that day.”
Lalu dia
keluar menuju balkon melalui pintu kaca yang telah terbuka. Dia bersandar pada
tiang mahogany yang sudah lapuk itu
kemudian dia pasang earphone untuk
memainkan sebuah lagu pada telepon genggamnya. Misty, pada layar teleponnya terpampang judul lagu itu.
Dia
kemudian memandang ke dalam ruangan apartemen melalui pintu kaca pemisah
ruangan dengan balkon itu, dia memandang ke piano. Lalu dia melemparkan
pandangannya ke langit pagi yang kini berwarna biru cerah itu.
Dia
tersenyum. Namun ada airmata jatuh dari dua buah matanya.
Aku
tersenyum melihatnya dari dalam ruangan, di tempat aku duduk di depan piano itu.
Tapi dia
tidak melihatku tersenyum.
Tidak.
Tidak bisa.
Muhammad
Al Ghifari
Mei 2015