Monday, May 30, 2016

Pada Sebuah Teras (Sebuah Cerpen)

Bau tanah basah selepas hujan turun, manja sinar matahari di antara pukul 8 hingga 10 pagi yang menyusup diam-diam melalui dedaunan pada pohon, tujuh per delapan beat musik jazz yang mengayun dengan was-was yang disertai nada-nada lydian dan dorian namun dengan demikian ia menciptakan dinamika mood yang kontras tiap bar-nya bagi siapa pun yang mendengar, campuran aroma robusta yang telah digiling dengan teliti serta diseduh dengan air panas melalui proses French press dan aroma tembakau yang dibakar, merupakan beberapa dari banyak hal yang aku sukai. Kesempurnaan bagiku adalah dengan dapat kunikmati keseluruhan hal tersebut pada satu waktu. Itu adalah terjadi di pagi ini. Pagi ini adalah tepat pukul delapan lewat empat puluh tiga di sebuah teras kedai kopi. Teras itu memiliki desain interior dengan konsep mid-century modern style yang terdefinisi dengan mayoritas material berbahan kayu dan dengan adanya lampu model sputnik chandelier yang tergantung di plafon teras yang langsung menghadap ke kebun yang ditanami berbagai jenis pohon yang aku tidak ingin klasifikasikan jenisnya satu per satu.

Aku menghirup aroma kopi yang baru saja berpindah dari baki seorang waiters ke atas meja berbahan jati tempat aku berada pagi ini kemudian aku menyeruputnya dengan tidak tergesa-gesa.

“Pahit,” ujarku tak bersuara.

Memang aku tidak terbiasa untuk menikmati kopiku dengan tambahan gula sehingga membuat rasanya menjadi tidak pahit. Aku lebih suka menikmatinya begitu saja; hangat dan tanpa gula.

“Nikmat.”

Aku menutup seruput kopi keduaku untuk meninggalkannya sejenak agar beberapa derajat celcius yang terukur pada cangkir kopi ini berubah skalanya menjadi sedikit lebih kecil daripada sebelumnya sambil aku menelusuri beberapa headline berita yang terpampang pada koran hari ini.

Tepat pada sembilan lewat tujuh belas, bel gantung di pintu depan kedai kopi itu berbunyi bersamaan dengan terbukanya pintu tersebut agar dengan demikian bunyi itu memberi tanda bahwa ada pengunjung yang hadir. Aku secara tidak bersamaan dengan bunyinya bel itu melemparkan pandanganku ke sumber bunyi tersebut untuk mengidentifikasi wajah-wajah yang baru saja hadir di pagi ini. Oh, rupanya hanya satu wajah. Sosok wanita berkacamata dengan rambut hitam panjang sepertiga punggung yang warna kulitnya kuning langsat. Ia mengenakan kemeja putih dengan celana bahan panjang berwarna hitam yang dilengkapi dengan sepatu wedges berwarna flax. Serta lihat lah itu tas jinjingnya yang berbahan kulit. Cantik.

Aku sangat mengaggumi segala ciptaan Tuhan. Alam semesta, inspirasi yang hadir ketika kaum kulit gelap sedang berelegi sehingga mereka menyalurkannya ke dalam nada-nada indah yang orang sebut sebagai musik jazz, dan tentu saja aku mengaggumi dia yang baru saja masuk ke dalam kedai kopi ini dan masuk ke dalam diafragma mataku untuk kemudian mungkin diteruskan, ya, mungkin diteruskan ke dalam hati. Sejenak aku memandangnya serta sejenak kemudian pula aku menyadari sesuatu. Dia adalah kawanku. Kawanku sepuluh tahun yang lalu. Di universitas itu. Ya, itu dia.

Dia tidak biasa bagiku, tepatnya sepuluh tahun yang lalu. Aku pernah mengagumi dia dan tidak sempat aku mengatakan kepadanya oleh sebab kesempatan yang tidak memungkinkan dan alam semesta yang aku rasa dulu tidak pernah mendukungku. Sepuluh tahun kemudian, di tempat ini, aku bertemu dia. Apakah ini bentuk dukunganmu, alam?

Dengan agak ragu namun tetap berpegang pada rindu sepuluh tahun tak berjumpa dan keyakinanku atas permainan alam semesta di pagi ini aku menghampirinya untuk menyapa.

Hai,” sapaku hangat untuknya.
“Ya? Siapa, ya?” Dia menyapaku kembali dengan refleks yang menurutku wajar sebab aku asing baginya.
Ini aku, kawanmu sepuluh tahun lalu di universitas itu.”
“Ya, Tuhan! Kamu? Apa kabar?” Ia terkejut, terlihat dari pupil matanya yang membesar dan ekspresinya yang berubah drastis.
Baik. Kamu bagaimana? Yuk, duduk di mejaku.” Aku mengajaknya untuk berbicara.
Dia mengiyakan ajakanku tadi.

Lalu kini kami berada di meja tempatku semula berada tadi, melepas rindu melalui kata demi kata, cerita demi cerita, serta tawa. Jangka waktu yang terlewat sehingga menciptkan jarak yang begitu renggang di antara kami kini seolah tidak bermakna lagi. Kami kembali pada sepuluh tahun yang lalu melalui percakapan ini.

Mau pesan kopi?” Aku menawarkan.
“Aku bawa botol air mineralku, ada di tasku.” Ia mengeluarkan botolnya sambil tersenyum bersamaan dengan bunyi smartphone yang menurut pendengaranku berasal dari dalam tasnya.
“Halo? Oh, iya. Aku di dalam ya. Ada. Sama kawan lamaku. Tak direncanakan kok. Iya. Oke. Dah.”
Ia menjawab panggilan masuk tersebut.
“Sampai mana kita tadi? Ah iya!”

Lalu kami saling berbicara kembali. Berbicara tentang hal-hal di masa lalu hingga masa kini. Aku senang berbicara dengannya, tatap matanya selalu terlihat berbinar menandakan bahwa ia tertarik dengan hal-hal yang aku utarakan. Senyumannya masih sama untuk membuatku terkagum padanya waktu sepuluh tahun yang lalu itu. Sekarang pun aku terkagum. Apa ini maksudmu, alam? Bantu aku.

Di saat kami sedang berbicara, bel gantung di pintu depan kedai kopi itu berbunyi bersamaan dengan terbukanya pintu tersebut agar dengan demikian bunyi itu memberi tanda bahwa ada pengunjung yang hadir. Aku secara tidak bersamaan dengan bunyinya bel itu melemparkan pandanganku ke sumber bunyi tersebut untuk mengidentifikasi wajah-wajah yang baru saja hadir di pagi ini. Oh, rupanya hanya satu wajah. Dia pun melemparkan pandangannya ke sumber bunyi tersebut untuk mengidentifikasi. Seorang dengan perawakan yang tinggi dilengkapi dengan bentuk dada yang membidang. Ia mengenakan kemeja putih dengan celana bahan panjang berwarna hitam yang dilengkapi dengan sepatu docmart berwarna cinnamon untuk menyatakan gaya casual-nya.

“Hei! Di sini, lho. Di sini!” Secara tiba-tiba dia melambaikan tangan untuk memanggil pria itu. Pria tersebut lalu membalas lambaian tangannya dan menghampiri tempat kami berada.

Sesaat pria tersebut berada di tengah-tengah keberadaan kami, dia berbicara kepada pria itu.

“Kenalkan, ini kawanku di universitas itu sepuluh tahun yang lalu.”

Aku tersentak, diam untuk sejenak sambil bertanya-tanya banyak. Pria itu menjulurkan tangannya sambil menyebutkan nama dan tersenyum. Aku membalas menjulurkan tanganku untuk menjabat tangannya sambil menyebutkan namaku.

Salam kenal,” ujarku pada pria itu setelah berjabat tangan.

“Aku pesan untuk take away lalu kutunggu kamu di luar, ya?” Pria itu berkata kepada dia.
“Oke,” dia merespon ucapan pria itu.

Setelah itu kami saling berbicara kembali untuk beberapa saat sebelum kulihat dia membereskan beberapa isi tasnya yang sebelumnya ia keluarkan untuk diletakkan di atas meja jati ini. Dia meminta izinku untuk pergi mendahuluiku. Dengan tersenyum namun di dalam hati sebenarnya tak ingin, aku mengiyakan.

Mau pergi ke mana kamu sekarang?”
“Ke luar, menemuinya.” Jawab dia.
Pria tadi? Oh, aku sampai lupa bertanya. Siapa pria itu?”
Dia berdiri setelah membereskan isi tasnya, merapikan tempat duduknya ke posisi semula yakni berada rapat dengan ujung meja jati itu, lalu merapikan rambutnya sambil tersenyum dan menjawab pertanyaan yang tadi aku berikan.

“Suamiku.” Katanya demikian lalu melanjutkan.
“Sampai jumpa lagi?”

Aku kembali tersentak, diam untuk sejenak sambil bertanya-tanya banyak. Lalu aku menjawab.

Ya, sampai jumpa lagi.”

Dia kemudian berlalu dari pandanganku, berlalu keluar dari diafragma mataku bersamaan keluar dari hatiku, menyisakan rongga sedemikian besar-kecil luasnya namun sangat terasa bagiku untuk dapat diartikan sebagai rasa hampa. Ia pernah sesaat ada, kini ia kembali tak ada. Sepuluh tahun aku menunggu untuk alam merancang permainannya di pagi ini, lalu berlalu begitu saja. Kini waktu menunjukkan sepuluh lewat sembilan belas. Aku menenggak habis cangkir kopiku yang sudah lama dingin itu. Ya, kopiku masih pahit seperti semula tadi aku mulai meminumnya. Seperti saat tadi ia masih hangat hingga sekarang ia berganti menjadi dingin. Kopi ini memang pahit, namun bagaimana kopi itu bisa nikmat bergantung pada cara memaknainya. Seperti hidup ini. Seperti hal yang baru saja terjadi kepadaku di pagi ini, di teras kedai kopi ini.

“Nikmat,” ujarku saat meletakkan kembali cangkir kopiku yang sudah kosong itu.


Muhammad Al Ghifari
Mei 2016



Thursday, May 26, 2016

Pada Sebuah Titik (Sebuah Cerpen)

Bukan pada sebuah ruang keluarga berbentuk persegi panjang dengan perapian berada tepat di depan sofa berbungkus kulit berwarna dark scarlet dan dengan karpet berbahan polypropylene di antaranya aku berada pada malam ini. Di sana tidak hangat seperti yang aku deskripsikan.
Bukan pada senja dengan langit menjingga dengan anginnya yang bertiup tidak kencang sehingga dedaunan yang dengan setia berintegrasi pada rantingnya bergerak teratur naik turun mengikuti arah yang ditiupkan lalu kemudian siapa pun secara segera menciptakan romantisasi terhadap hal tersebut yang aku rasa klise. Di sana tidak romantis seperti yang aku deskripsikan.

Bukan di antara tawa dan percakapan manusia, juga denting gelas-gelas bir yang beradu dan konstan beat musik lounge serta kelabu asap tembakau, sebagai permulaan para individu ini mengalterasi diri mereka sebagai utopist yang pada sepercik waktu melupakan nyata dunia aku berdiri. Di sana tidak ramai seperti yang aku deskripsikan.
Bukan pada hijau lembah Semeru dengan danau di tengahnya yang pada tengah hari ia menguap menjadi awan yang meneduhi apa pun yang ada di bawahnya lalu pada awal hari ia berkondensasi menjadi embun untuk kembali berada di bawah sana mengulangi proses yang sama selanjutnya. Di sana tidak indah seperti yang aku deskripsikan.

Coba hilangkan ramai suara itu, romantisasi atas suasana yang berlangsung itu, kehangatan yang menaungi itu, serta keindahan yang menghiasi itu. Kau akan temukan aku.


Muhammad Al Ghifari
Mei 2016

Tuesday, May 17, 2016

Pada Sebuah Boulevard (Sebuah Cerpen)

Aku melemparkan sekeping uang logam ke dalam instalasi seni berupa bejana air berbentuk seperti tempayan dengan ukiran bunga yang menjalar yang dengan bantuan motor listrik ia dapat menyemburkan air ke arah langit agar percikannya turun kembali memenuhi bejana tersebut secara teratur dan memiliki nilai estetika bagi siapa yang memandangnya. Itu adalah kepingan uang logam yang sebelumnya bertempat di dalam kantong kemeja flannel berwarna navy blue yang aku kenakan pada hari yang sedang mendung ini. Di tengah boulevard yang tidak terlalu banyak orang yang berjalannya itu aku berdiri, memandang langit sejenak, menghembuskan satu tarikan nafas, kemudian aku duduk di kursi kayu pada garis antara jalan dan rerumputan taman.

“Hai, dunia. Kau terlalu sibuk,” aku berujar dalam diam.
“Tidak bisakah kau beristirahat sejenak agar kita berada dalam posisi yang sejajar?”
“Apa? Bukan seperti itu kah, dunia?”
“Ah, benar.”
“Aku yang mungkin sudah payah dan terlanjur lelah,” sambil tersenyum aku masih berujar dalam diam.

Hari itu adalah hari yang tidak buruk menurutku. Mendung yang terhampar di antara angkasa sore itu tidak kupandang sebagai pertanda hal yang kelam, melainkan suatu teduh yang meskipun saling berfriksi dengan kelit definisi yang aku sampaikan mengenainya, tetapi ia harmoni. Setidaknya harmoni denganku. Mungkin orang-orang yang tampak dalam batas lensa mataku yang sudah lama minus 5,75 di depanku ini, yang sejajar posisinya dengan berjalannya dunia, yang masih tangguh dan tidak pula lelah, memiliki persepsi yang berbeda terhadap langit mendung sore hari ini yang tadi kudefinisikan.

“Dunia, kau memberiku banyak warna. Dengan masing-masing makna,” aku melanjutkan.
“Oh, tentu saja aku tahu!”
“Agar menjadi indah menurutmu, kan?”
“Ah..”
“Jika pemberianmu adalah pilihan, tentu tidak kupilih itu warna yang kegelap-gelapan.”
“Tapi kini semuanya sudah saling berdistraksi menjadi kegelap-gelapan, karena tidak bisa aku memilih.”

Aku ingin melemparkan koin kedua, tetapi kantong flannel ini sudah tidak berisi.

“Lalu apa ini maksud dari konsep menunggu?” kembali aku berujar, masih dalam diam.
“Hahaha..” aku tertawa, yang menurut Putu Wijaya tergolong ke dalam tertawa karena terlalu jengkel dan putus asa dalam klasifikasi tawa yang ia lampirkan dalam Goro-Goro.
“Menunggu seolah menyuruh kita istirahat, padahal tidak.”
“Aku memang harus menunggu, untuk apa pun itu. Bahkan untuk ini.”
“Untuk berhenti. Biar aku yang beristirahat atas kau yang menurutku terlalu sibuk.”
“Maafkan aku yang payah ini, dunia.”

Lalu riuh rendah percakapan orang-orang pada boulevard di tengah perkotaan ini terdengar seimbang dengan segala ujaranku dalam diam tadi. Lalu aku yang berhenti berujar agar dapat mendengar, mengalah pada sekitar. Seakan ingin berkolaborasi, derum berbagai jenis kendaraan yang melintas pada jalan raya ikut mengisi indera pendengaran ini. Tak lupa bunyi percikan air pada bejana yang tadi aku jelaskan di awal. Serta burung-burung, angin sore, bel sepeda, kerikil yang dilempar anak-anak ke tong sampah, plastik atau kertas yang saling bergesek, notifikasi pesan pada smartphone, dan lain-lainnya. Bunyi dunia. Dunia yang kembali meninggalkanku pada posisi semula.


Muhammad Al Ghifari
Mei 2016




Friday, May 6, 2016

Menunggu Berlalu

Jika bukan lewat udara aku sematkan sapa
Tentang kelabu risau berkonteks atma kama
Kepada apa ia berintegrasi
Agar kemudian jadi harmoni?

Aku ingin menjerit perih
Pada kafilah tuli tak bernyali
Sebab hanya mereka tak mengerti
Bahasa frustrasi atas sublimasi asih

Ah, konotasi ini
Jadi ambigu nanti
Jika memang berinti
Apa ini berarti?

Tapi,

Baru aku tau
Rupanya menunggu
Atau berlalu
Keduanya sama pilu


Muhammad Al Ghifari
Mei 2016