Saturday, July 11, 2015

Pada Sebuah Apartemen (Sebuah Cerpen)


Seratus persen kesempurnaan, atau mati saja lah.

Aku terus berkata demikian.

Biar aku tepuk kedua tanganku ini dahulu agar aku tahu apakah ini mimpi atau nyata.

Aku bergetar, berkeringat, karena berada dalam tekanan.

Jika tepukan tanganku tak saling mengena satu sama lain, maka aku tahu ini tidak nyata.


Lalu aku terbangun. Di pojok sebuah kamar apartemen ini, aku terduduk. Rupanya aku tertidur ketika aku sedang mengerjakan lukisan pesanan tuan Brata. Sebuah lukisan potret penari Bali dengan latar bewarna merah carmine yang aku padukan dengan warna hitam untuk memberikan kesan kontras antara ekspresi sang penari yang penuh senyuman dangan nuansa suram. Dengan demikian lah aku dapat menyampaikan makna bahwa dibalik cerah ekspresi yang ditampilkan oleh sang penari melalui senyuman terdapat kegelisahan dan kekalutan yang kelam tersembunyi. Sang penari Bali ini belum sepenuhnya selesai aku lukis. Disamping senyuman yang timbul penuh makna bagi siapa yang melihatnya yang semalam telah aku selesaikan, aku masih bingung untuk menentukan bagian matanya. Aku tak tahu harus seperti apakah aku lukiskan sorotan mata penari ini. Apakah sorotan mata tajam khas seorang penghibur yang penuh dengan hasrat yang sangat cocok jika dipadukan dengan sorot sinar matahari yang menelusup masuk dari jendela pada pagi hari ini? Sorot mata yang layu manja seperti seseorang yang sedang berada dalam kenikmatan yang amat sangat kah? Atau haruskah kulukis penari ini dengan membuatnya memejamkan mata saja agar kesan seorang penari yang menghayati tariannya ini semakin kuat? Pak Brata tentu sudah mengingatkanku berkali-kali mengenai tenggat waktu penyelesaian lukisan ini yang sudah lewat agak jauh. Tapi aku tidak mengacuhkannya. Persetan, aku ini seniman. Apa yang diketahui oleh kolektor selain uang dan uang?
Kukenakan kacamata berlensa minus 5,75 milikku.

“Ah, sial! Sudah pukul 8.37!” kataku sembil menggerutu setelah mataku secara sengaja aku alihkan pandangannya ke arah jam Seiko yang aku gantung di dinding bagian atas sejak tiga tahun yang lalu yaitu pada tahun kedua aku menempati apartemen ini. Aku kemudian bergegas untuk memasukkan alat lukis yang berserakan di atas meja kecil berbentuk lingkaran yang terbuat dari kayu sonokeling di sebelah kanvas berlukiskan penari Bali yang sudah sekira 87% jadi itu ke dalam ranselku.
“Nanti malam pasti aku selesaikan,” kataku sambil menatap lukisanku itu sebelum aku menutup pintu apartemenku.

Aku berangkat ke taman dekat apartemenku untuk memenuhi janjiku kepada seorang klien yang seharusnya telah aku lakukan 37 menit yang lalu. Dia bermaksud untuk membeli sebuah lukisan yang aku lukis bulan lalu seharga dua ratus lima puluh juta rupiah. Terlalu murah pikirku. Lukisanku seharusnya bisa bernilai lebih dari itu, paling murah lima ratus juta rupiah. Tetapi aku setuju dengan penawaran ini mengingat sejak dua minggu yang lalu aku belum pernah menerima penawaran apa pun. Lagipula aku dapat dengan mudah mendapatkan ratusan juta rupiah lainnya kapan pun aku mau dengan lukisan-lukisanku.

Aku tiba di taman itu. Kemudian aku duduk di sebuah bangku yang sebelumnya telah kami tentukan sebagai tempat pertemuan dalam percakapan pesan singkat.
“Maaf, saya tidak sengaja datang terlambat.”
“Tidak masalah,”
Dia menjawab sambil kemudian menyerahkan sebuah amplop coklat tebal berukuran sedang kepadaku. Tentu saja amplop tersebut berisi uang. Tentu saja aku percaya bahwa jumlah uang di dalam amplop ini sesuai dengan kesepakatan kami. Tentu, memang ini caraku bertransaksi dalam menjual lukisan-lukisanku.
“Saya akan kirim lukisannya ke rumah anda pukul dua siang ini.”
Lalu ia menganggukkan kepalanya dan beranjak pergi. Aku pun pergi untuk menuju galeri lukisanku agar dapat mengatur proses pengiriman dan segala administrasinya.

Malam harinya, aku sedang menuangkan anggur ke dalam gelas ketika bel pintu apartemenku berbunyi.
“Oh, Devona rupanya. Masuk lah,”
Devona malam ini tampak anggun dengan gaun hitam dan sepatu hak tinggi merahnya. Dengan tatapan nakal dan senyumnya, ia masuk ke dalam apartemenku. Tanpa aku persilahkan, ia duduk di atas sofa kulit bewarna putih gading di ruang tamu apartemenku. Lalu ia meminum segelas anggur yang baru saja aku tuangkan sebelumnya tanpa aku persilahkan, lagi.
“Bagaimana transaksimu?”
“Lumayan,” aku menjawabnya sambil menyalakan geretan untuk membakar tembakau dalam Marlboro yang aku kulum.
“Baiklah, tuan jutawan.” Katanya sambil mengangkat gelas anggur itu hingga sejajar dengan wajah cendayamnya yang berhias tatapan mata yang teduh dan bibir yang bergincu mulberry itu.
“Lalu bagaimana dengan lukisan pesanan Pak Brata itu? Kamu tentu bermaksud untuk menyelesaikannya, bukan?” Ia bertanya sambil menunjuk ke arah lukisan penari Bali itu.
“Oh, itu. Entah lah, lukisan ini berbeda dari lukisanku yang lainnya. Aku sangat sulit untuk menentukan penyelesaiannya.”
“Mengapa demikian? Ini sudah lewat satu bulan dari tenggat waktumu. Kamu harus ingat itu,”
“Ikatan emosiku terhadap lukisan ini sangat kuat. Lukisan ini seperti aku. Maka dari itu aku ingin seratus persen kesempurnaan ada padanya juga.” Aku menerangkan.
“Bagaimana dengan Pak Brata yang sudah menunggu lukisan ini?”
“Persetan si Brata. Lebih baik aku mati saja daripada harus mengorbankan kesempurnaan lukisanku.”
“Dasar kamu, seniman. Aku benar-benar tidak mengerti cara pikirmu,” ia tertawa kecil.
“Sudahlah, kita rayakan saja malam ini.” Aku berkata sambil menuangkan anggur ke gelas.
Setelah menghabiskan tiga botol anggur dan beberapa batang rokok, kami bersenggama. Di sofa, di atas meja makan, di depan lukisan penari Bali yang belum aku selesaikan, dan di tempat tidur kamarku. Kami bersenggama hingga klimaks dan tertidur pulas.

Pagi hari, aku terbangun. Hanya aku sendiri yang ada di atas tempat tidurku. Devona sudah pergi, mungkin berangkat ke kantornya atau pulang ke apartemennya. Setelah bangun, aku langsung menuju ke kanvas lukisanku untuk menyelesaikan rupa sang penari Bali yang hampir jadi ini. Aku memerhatikan dengan seksama lukisanku ini. Sebuah mahakarya yang benar-benar mencerminkan makna dua perasaan yang saling berbanding terbalik dalam diri seorang manusia, hanya saja tanpa sepasang bola mata pada wajahnya.
“Bangsat, seharusnya kamu sudah kuselesaikan malam kemarin jika Devona tidak datang.”
Aku mulai mencampurkan cat dan minyak dan kemudian menuangkan beberapa warna ke dalam palet.
“Sorot mata seperti apakah yang harus aku lukiskan?”
Di saat yang bersamaan ketika aku bergumam, telepon genggamku mengeluarkan suara yang memberitahukan adanya panggilan masuk.
Tulisan “BRATA” terpampang dalam layar kaca telepon genggamku.
“Selamat pagi, pak.” Aku menyapanya supaya menunjukkan bahwa aku adalah seseorang yang mengerti etika dan tatakrama dalam menerima telepon.
“Bagaimana lukisan pesanan saya?” Tanpa menjawab sapaanku sebelumnya, Pak Brata langsung mencercaku dengan pertanyaan yang sama dengan panggilan-panggilan telepon pada hari-hari dan minggu-minggu sebelumnya.
“Oke, pak. Saya janji besok lukisan ini selesai. Bapak harus tahu betapa luar biasa sulitnya lukisan ini. Saya sudah ber-…”
“Tidak ada lagi besok! Saya batalkan pesanan ini. Biar saya suruh saja pelukis lain yang lebih berbakat dan lebih murah daripada kamu. Seniman payah!” Ia berkata demikian dan langsung menutup panggilan telepon ini.

Aku diam untuk mencerna apa yang baru saja terjadi dalam percakapan telepon tadi.
Seniman payah katanya? Brata brengsek! Beraninya dia berkata demikian.
Aku kemudian membuka botol Black Label di atas meja ruang tamuku. Aku meminumnya tanpa ragu-ragu hingga menyisakannya setengah botol. Aku berpikir sambil masih menggenggam botol di tangan kananku.
Lukisan ini memang luar biasa. Seniman sepertiku sampai dibuatnya kepayahan.
“Persetan,” aku membuang botol ke lantai. Aku lalu beranjak ke kanvas lukisan penari Bali itu. Aku mulai untuk melukisnya kembali.

Satu jam waktu berlalu.
Satu jam lainnya waktu berlalu.
Satu jam dari satu jam waktu lainnya juga telah berlalu.
Aku masih terpaku di depan kanvas lukisan dengan memegang palet yang catnya sudah mengering. Tidak ada kemajuan dari sejak pertama aku mulai melanjutkan lukisan yang belum kuselesaikan pagi tadi ini. Tanganku bergetar, aku tidak mampu menahan emosi yang didukung dengan derasnya adrenalin yang bergejolak di tubuhku. Aku mematahkan kuas dan membanting palet yang aku pegang. Seratus persen kesempurnaan hanya tinggal kata-kata. Benar, mungkin lebih baik aku mati saja jika tidak bisa kucapai seratus persen kesempurnaan itu.
“Kau saja yang mati! Aku seniman seratus persen sempurna!” Teriakku sambil menatap lukisanku itu.
Aku jatuh ke lantai dari tempat duduk melukisku. Lalu aku tanpa sadar menangis.
Rupanya aku menangis lama akibat kekalahan yang telah berpadu dengan jumlah alkohol yang tidak sedikit di dalam tubuhku ini, hingga aku dibuatnya tertidur di atas lantai apartemenku.

Di dalam tidurku, aku seperti terbangun oleh sentuhan lembut di punggungku. Dengan berbagai macam pengalaman kehidupanku, aku sangat meyakini bahwa sentuhan tersebut adalah sentuhan wanita. Aku membetulkan posisi tubuhku dengan mengulat hingga membuatnya terlentang sambil perlahan membuka mata. Seorang wanita yang sosoknya sangat kukenal rupanya. Aku mencari-cari kacamataku dengan meraba beberapa meter persegi bagian lantai apartemen di sekitar tempat aku tertidur tadi.
“Kacamataku? Dimana? Kamu…Devona?”
Pandangan mataku sangat buruk tanpa bantuan kacamata. Aku memandang ke arah jendela. Samar-samar aku menyadari bahwa hari sudah malam seketika tangan miliknya menarik tangan milikku untuk membantuku membangunkan tubuhku. Pandanganku masih kabur dan kepalaku pusing, efek alkohol rupanya masih kuat mempengaruhiku. Ia kini berdiri membelakangiku.
“Mengapa tidak kau selesaikan?” Ia bertanya padaku.
Dengan susahnya aku mencari-cari kacamataku di lantai.
“Dimana seratus persen kesempurnaanmu itu?” Belum sempat aku hiraukan pertanyaanya yang pertama, ia sudah bertanya kembali.
“Ah, ini dia!” Kataku sambil mengambil kacamataku yang terletak di empat setengah meter dari lantai tempat aku tertidur sebelumnya. Mungkin terjatuh dan terdorong ketika aku tak sengaja tertidur.

Kini aku bisa melihat dengan jelas ruang apartemenku dan jam Seiko yang jarum pendeknya tepat menunjuk di antara angka 12 dan 1. Lalu aku berbalik badan untuk melihat ke arah Devona. Aku dari belakang melihat Devona yang mengenakan pakaian tradisional yang entah mengapa sangat kukenal.
“Sejak jam berapa kamu ada di apartemenku, Devona? Dan…mengapa kamu mengenakan pakaian seperti itu?”
Aku memerhatikan sosoknya dari belakang dan dengan segera pula aku menyadari sesuatu. Devona yang ada di depanku bukan lah Devona. Aku bergidik, kemudian dengan perlahan aku mengalihkan pandanganku ke arah lukisan penari Bali di sebelah kiri badanku. Kanvas lukisan potret penari Bali yang kulukis itu kini hanya menampakkan latar berwarna merah carmine yang berpadu dengan hitam saja tanpa adanya penari Bali.
Kakiku seketika membeku lemas, aku tidak bisa bergerak.


Ini pasti mimpi, bukan kenyataan. Jelas aku masih tertidur sekarang.

Biar aku tepuk kedua tanganku ini dahulu agar aku tahu apakah ini mimpi atau nyata.

“SERATUS PERSEN KESEMPURNAAN?! KAU SAJA YANG MATI!” Wanita itu membalikkan wajahnya ke arahku sambil berteriak. Sebuah sosok wanita penari Bali dengan wajah tanpa bola mata yang sekarang berlari sambil bersiap menghunuskan keris ke tubuhku.

Aku sangat ketakutan hingga tidak bisa menggerakkan sekujur tubuhku.

Jika tepukan tanganku tak saling mengena satu sama lain, maka aku tahu ini tidak nyata.


PROK!


Muhammad Al Ghifari
Juli 2015