Saturday, April 25, 2015

Pada Sebuah Bangku (Sebuah Cerpen)


Aku pada paruh akhir tahun ketiga pendidikan perguruan tinggi ini – di sebuah kota busuk yang kini aku dibuatnya menikmati karma akibat dulu aku sangat membencinya hingga aku tidak ingin tinggal di sini – entah belakangan ini atau mungkin sudah lama namun aku baru menyadarinya bahwa ruang kelas dan silabus perkuliahan dosen tidak hanya terbatas oleh itu saja. Ya, ada yang menarik. Ada sesuatu yang magis sehingga aku terbuai pada hal selain referensi bahan perkuliahan, sebut saja Mona Baker dengan In Other Words-nya atau Jeremy Munday dengan Introducing Translation Studies-nya. Hal tersebut tentu saja melampaui indera penglihatanku yang hanya terbatas untuk mentranskripsikan data visual saja. Juga indera pendengaran ini sehingga ramai dibuatnya menjadi hening. Ini lebih dari itu. Ini membuat aku merasa sekaligus berpikir tanpa melibatkan logika. Karena dia, aku tidak menggunakan logika yang selalu menjadi ketajaman berpikirku. Belum, aku juga belum tahu apa yang mencandui aku saat ini. Ah, perasaan ini.

“Aku harus kuliah pagi ini,” aku bergumam sembari menata rambut ini hingga terlihat klimis.
“Dia, ya dia. Mata kuliah ini salah satu kesempatanku untuk bertemu dia,” ditambah kemeja merah gelap berlengan panjang yang aku kancingkan hingga leher untuk menguatkan kesan parlente style.
“Aku akan duduk di satu pertiga deretan bangku paling belakang agar aku bisa melihatnya,” sambil aku membereskan segala perlengkapan yang aku akan bawa untuk kuliah, dan bersosial tentu saja. Kemudian aku mengikatkan tali Dexter Shoes berbahan kulit ini untuk selanjutnya aku menuruni anak tangga tempat kost ini supaya aku dapat berangkat ke kampus di jam yang sedang 9.13 ini.

“Bangku belakang masih kosong,” ujarku yang memperhatikan deretan bangku belakang yang sudah terisi setengah penuh itu untuk kemudian aku memasuki ruang kelas dan menduduki bangku yang sebelumnya sudah kurencanakan untuk kutempati itu.
Beberapa kawanku duduk pada deretan bangku yang sama denganku.
Beberapa kawannya duduk pada deretan yang terpisah dua deret ke depan dari deretanku.
Tetapi tidak ada dia pada deretan tersebut.

“Mungkin dia akan datang sebentar lagi,” aku bergumam.
9.24, dosen memasuki ruang kelas sehingga menyebabkan seluruh kelas menjadi hening dan terambil alih perhatiannya pada beliau.
Dia belum ada.
“Mungkin dia akan terlambat,” aku bergumam dengan sedikit berharap.
9.42, kelas sekarang sedang sibuk saling mendiskusikan materi perkuliahan yang bahkan bukan menjadi prioritasku di detik ini.
“Semoga dia datang”, aku berharap dengan tulus.

9.50.
10.13.
10.21.
10.39.
10.46.
10.53.
10.59.
11.00.
“Ah, perasaan ini..”


Muhammad Al Ghifari
April 2015


Wednesday, April 8, 2015

Pada Sebuah Kamar (Sebuah Cerpen)


Akhirnya sepi. Sepi, tidak begitu banyak yang berubah dari suasana ruang apartemen itu. Sebab waktu yang hanya berubah dan mengubah jalan kisah untuk siapa yang terikat. Alfa terduduk dengan tidak bermaksud untuk merenungkan jalan kisahnya, hanya saja memang waktu yang membuatnya terpaksa tidak berdaya di ruang apartemen itu, sepi.

            Senyum yang tidak seorang pun dapat menebak maknanya timbul ragu-ragu pada wajah Theta.
            “Aku yang harus pergi. Aku bersamanya,” Theta membuka suara, pada akhirnya.
            Sepi. Ada diam yang sesungguhnya menghujam rasa, tajam.
            “Jadi? Apakah memang harus begini?” Alfa melempar pertanyaan.
            Setelah air mata yang secara tidak sengaja, dengan tidak tertahan, mengalir dari sepasang mata berwarna coklat milik Alfa itu.
            “Maafkan aku, Alfa.” Theta berkata datar, seolah menyesal tetapi tidak. Tidak, tidak ada yang tahu.
            “Apa maksud dari semua ini?!” Alfa menyentak memecah sepi.

            Kemudian sepi. Apartemen itu adalah kediaman Alfa dan Theta, dengan sentuhan arsitektur scandinavian yang bisa terlihat pada dinding batu-bata berlapis cat putih polos dan perapian berbahan kayu ebony. Memang waktu yang telah mengantarkan mereka pada ulang tahun kelima pernikahan mereka. Seketika jatuh seikat bunga lavender yang pada sekelilingnya dibalut oleh rangkaian melati dari genggaman tangan Alfa yang baru saja tiba di ruangan apartemen itu. Theta di tengah ruangan apartemen itu berdiri, berciuman mesra sambil merangkul leher Gamma dengan begitu lembutnya. Sepi.
Awalnya sepi.



Muhammad Al Ghifari
April 2015

            

Tuesday, April 7, 2015

Pada Sebuah Gerbong (Sebuah Cerpen)


            Senja itu aku berpulang kembali ke kota di mana segala rutinitas aku jalani, kota Bandung, dari Jakarta yang sedang 30 derajat celcius lebih sehingga membuat aku melepaskan jas hitam yang aku kenakan untuk acara sebuah lamaran pernikahan salah seorang saudara yang telah aku hadiri. Dengan menggunakan kereta pukul empat sore, aku masih duduk menunggu di sana, kursi tunggu sebuah stasiun di pusat kota Jakarta yang sedang sibuk sebab orang-orang yang sepertinya dengan sengaja juga pergi berpulang pada waktu yang bersamaan denganku, mungkin. Mungkin ada yang satu tujuan denganku, mungkin ada juga yang tidak, mungkin.
            Setelah tiba kereta yang aku akan tumpangi, dengan tidak bersegera, aku memasuki gerbong yang di dalamnya terdapat kursi yang dua hari sebelumnya telah sengaja aku pesan agar aku dapat duduk di sana, di kursi 2A, di samping jendela. Sebuah kursi berbalut kulit sintetis berwarna beige yang sepertinya telah didesain sedemikian rupa untuk dapat menyesuaikan dengan nuansa minimalis pada desain interior gerbong eksekutif ini. Kuletakkan barang bawaanku di kompartemen yang tersedia tepat di langit-langit gerbong, di atas jendela. Kemudian aku duduk dengan berteman David Copperfield karya Charles Dickens serta alunan My Favorite Things hasil komposisi Oscar Hammerstein II yang mengalun mesra melalui earphone ponsel yang sengaja aku putar.
Aku pikir keadaan tidak akan bertambah mesra. Setidaknya hal itu yang sedang kupikirkan sebelum ia akhirnya datang memasuki gerbong ini. Ia adalah wanita seusiaku, dengan potongan rambut panjang menjuntai pada sepertiga punggungnya yang diperindah dengan gelombang pada bagian ujung rambutnya, dengan kacamata lensa besar yang berbingkai menyerupai bentuk persegi, serta dengan kemeja jeans berwarna pale turquoise yang dirangkap menggunakan sweater berwarna ivory white yang juga membuatnya tampak serasi dengan celana panjang chino berwarna coklat sienna serta sepatu kanvas berwarna putih yang ia kenakan itu. Ia meletakkan tas punggung Bonjour Adrien yang ia bawa di atas kompartemen barang. Kemudian, ia duduk di kursi 5A. Dan aku di kursi 2A, membaca David Copperfield pada halaman 27 seperempat paragraf terakhir. Dengan sedikit menengadah, aku melirik pada sosoknya dari belakang.

“Hai,” aku menyapa ia yang sedang duduk sambil mengetikkan jarinya pada layar sentuh ponsel milikknya.
Entahlah pada siapa ia sedang bertukar pesan pada pukul lima sore di saat kereta ini sedang melaju melewati kota Bekasi yang sedang hujan gerimis.
“Eh..? Hai, juga. Ada apa ya?” ia tampak bingung padaku yang tetiba menghampirinya.
“Aku boleh pindah duduk di sebelahmu, ya? Aku terganggu dengan orang yang duduk di sebelahku,” kataku sambil menunjuk tempat di mana aku duduk semula.
Ia melirik sebentar ke arah tempat dudukku, melihat penumpang di sebelah tempat dudukku yang tertidur dengan pulasnya dengan badan yang posisinya sudah miring ke arah tempat dudukku.
Kemudian ia berbalik menatapku dengan senyum yang sepertinya tidak sengaja ia buat akibat dari tawa yang ia tahan setelah melihat penumpang di sebelahku tadi.
“Boleh, kok. Silakan saja,” ia lalu mempersilakanku duduk di kursi 5B, tepat di sebelahnya yang kembali sibuk dengan layar ponselnya itu.
Aku melanjutkan kembali membaca David Copperfield yang telah mencapai halaman 27 pada seperempat paragraf terakhir sambil kupasang earphone-ku kembali untuk membiarkan Freddie Hubbard meniupkan solo trumpet pada lagu yang ia beri judul Red Clay.
“Charles Dickens, ya? Kamu suka baca sastra klasik?” ia bertanya sambil memperhatikan cover belakang buku yang sedang aku baca.
“Ah, engga juga kok. Aku lebih suka puisi ketimbang novel, sih. Buku ini kebetulan saja aku beli pada pameran buku di kampusku minggu lalu,” aku memberikannya penjelasan.
“Wah, penyair dong kamu ya?” ia lanjut bertanya.
“Bisa jadi,” aku menanggapi pertanyaannya sambil tersenyum.
“Kamu sendiri gimana? Apa interest kamu?” aku berbalik bertanya padanya yang kini sudah menyimpan ponselnya agar kami dapat saling bertatap mata dan berbagi cerita.
“Hmm, aku suka musik. Musik ballad, jazz, dan soul lebih tepatnya,” ia merespon pertanyaanku dengan antusias. Sepertinya ia tulus berkata dari hatinya, bukan hanya untuk sekadar meningkatkan harga dirinya di depanku, bukan. Ia tulus menjawabnya.
Ballad, jazz, dan soul, ya? Seperti Rumer? George Gershwin? Diana Krall?” aku kembali bertanya.
“Ya! Kamu juga suka mereka? Aku suka banget sama mereka soalnya. Mereka seperti guru aku untuk bermusik,” ia kembali dengan segala antusiasme yang ia miliki menjawab pertanyaanku tadi.
“Kurang lebih begitu,” jawabku kembali sambil tersenyum dan sesekali menganggukkan kepalaku agar ia mengerti bahwa aku pun sependapat dengannya.
“Eh iya, aku hampir lupa mengenalkan diriku. Namaku Muhammad,” aku mengenalkan diriku sambil menyodorkan tanganku padanya.
“Namaku….”

Ketika ia akan menyebutkan namanya sambil menyambut jabatan tanganku agar kami dapat saling menggenggam erat tangan kami, solo trumpet yang dimainkan oleh Hubbard dalam komposisi lagu Red Clay sedang mencapai klimaksnya. Ketukan drum saling beradu dengan alunan contra bass, electric piano, dan brass section yang mengiringi bagian solo ini. Membuatnya seakan-akan aku dalam kegelisahan tingkat tinggi sehingga mengakibatkan aku berada pada anomali dunia nyata dan alam bawah sadar ini. Aku seperti dalam sebuah perjalanan halusinasi yang tidak aku tahu ke mana ini akan membawaku dan kapan ini akan berhenti. Aku seperti terbawa progresi chord yang dimainkan secara berulang, namun dinamis. David Copperfield yang aku baca sudah mencapai halaman 27 pada seperempat paragraf terakhir. Aku duduk di kursi 2A, dan ia duduk di kursi 5A. Dengan sedikit menengadah, aku melirik pada sosoknya dari belakang.
Kemudian aku buka halaman 28.



Muhammad Al Ghifari
April 2015